MELAWAN IMPERIALISME BOLA

International Khalifa Stadium, salah satu dari delapan stadion yang digunakan dalam Piala Dunia Qatar tahun ini. Foto: INT
EVENT Piala Dunia adalah event internasional yang lebih jujur dan manusiawi dari event internasional lainnya yang hanya dihadiri para elit politik dan para penguasa yang sebagian besar tidak merepresentasi secara hakiki suara umat manusia di wilayahnya masing-masing. 

Oleh : ALLING HARUNA, S.Pd., M.Pd 
( Ka.SD Negeri 044 Pukkadundung)


Diajang ini setiap individu, di level ekonomi apapun, bisa begabung atas nama pendukung timnas sendiri atau timnas pujaan. Sebagian malah mendukung tim-tim sebenua atau tim tak diunggulkan demi melawan hegemoni sepakbola yang identik dengan Brazil, Argentina, Jerman, Italia, Perancis dan Inggris.

Piala Dunia 2022 di Qatar  terasa berbeda. Maroko menjadi buah bibir dunia karena berhasil masuk ke babak semi final yang selama ini didominasi oleh Eropa dan Amerika Latin.

Mungkin banyak dari kita yang tak mengenal negeri yang bernama Maghrib itu. Ia adalah sebuah negara yang memiliki garis pantai yang sangat panjang di Samudera Atlantik. Secara geografis, memiliki wilayah yang sebagian besar terdiri dari gurun dan pegunungan yang terjal. Maroko merupakan salah satu dari hanya tiga negara (dengan Spanyol dan Prancis) yang memiliki garis pantai di Samudra Atlantik dan juga di Laut Mediterania. Nama Arab al-Mamlakah al-Maghribiyah (Arab: المملكة المغربية, yang berarti "Kerajaan Barat") dan Al-Maghrib (Arab: المغرب, yang berarti "Barat") sering digunakan sebagai nama alternatif.  Anggota Liga Arab ini  memiliki populasi lebih dari 33.800.000 dan luas 446.550 km2 (172.410 sq mi). Ibu kotanya adalah Rabat dan kota terbesarnya adalah Casablanca. Kota-kota besar lainnya adalah Marrakesh, Tangier, Tetouan, Salé, Fes, Agadir, Meknes, Oujda, Kenitra, dan Nador. Maroko memiliki sejarah yang berbeda dengan negara-negara tetangganya. Masyarakat Maroko adalah entitas sosial multikultural karena mempunyai budaya campuran antara kebudayaan Arab, Eropa, dan Berber.

Setelah Jepang, Korsel, Tunisia, Kamerun, Ghana, Saudi, Qatar dan Iran tumbang, harapan para proletar bola di dua benua (yang mewakili masyarakat kelas dua dunia) tertumpu pada Yassine Bono dan rekan-rekannya di timnas Maroko. Bagi mereka, ini bukan sekadar menggiring dan menendang bola, tapi momentum membalikkan keadaan dalam konstelasi kekuatan global. Setiap orang bisa menemukan alasan mendukung Maroko sebagai wakil rakyatnya, Afrika, masyarakat Arab, dunia Islam, dan "dunia ketiga."

Di atas semua itu, meski negerinya dikuasai oleh rezim monarkis Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan rezim penjajah Quds, para pemain dan rakyat Maroko juga seluruh pendukungnya mempersembahkan setiap gol dan kemenangan untuk para pejuang bersenjatakan batu di Nablus dan kota-kota di Tepi Barat dan Gaza. Kemenangan gemilang berkat semangat juang resistensi ini bukan hanya kemenangan dalam arena sepakbola, tapi kemenangan dalam arena opini dan aspirasi melawan media imperialistik. 

Terlepas dari itu semua, yang menarik dari sepakbola adalah probabilitasnya. Ia tidak bisa dipastikan secara matematik. Banyak faktor non teknis yang ikut mempengaruhi pertandingan dan hasll akhir, seperti cuaca, arah angin, stamina, mental, gravitasi, subjektivitas wasit, tekanan suporter, media dan lainnya. Entah, mantra dan doa termasuk di dalam list faktor atau tidak.

Sepakbola punya standar khas terutama dalam komunikasi antar suporter. Saling ejek selama tidak bermakna mencederai identitas negara, agama, ras gender dan sebagainya dan tidak mengandung ujaran kebencian, apalagi kekerasan, adalah ekspresi lazim canda dan keakraban.

Hayya hayya hayya ....Salam World Cup Qatar 2022! (*)

#GP Ang.7 Polewali Mandar

Related

POLMAN 4544350054366949497

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item