Carut Marut Pembangunan Sarang Walet Regulasi Tumpul, Pengusaha Walet Kucing-Kucingan
MAJENE, FMS - Beberapan tahun belakangan, bisnis sarang walet di Majene terus berkembang. Bangunan tinggi sebagai sarang buatan bermunculan tidak hanya di kebun, tapi juga perkampungan hingga berdempetan sarang.
Burung walet yang bernama latin Collocalia vestita merupakan jenis burung bersayap runcing, berekor panjang, berwarna hitam dengan bagian bawah tubuhnya berwarna coklat. Biasanya hidup di pantai serta daerah pemukiman, menghuni gua atau ruang besar seperti bubungan kosong.
Walet kini banyak dibudidaya lantaran sarangnya yang bernilai ekonomi tinggi. Sarang yang terbuat dari pembekuan air liur walet memiliki harga jual belasan hingga puluhan juta rupiah tiap kilogramnya. Peluang bisnis yang menggirukan ini membuat banyak masyarakat tertarik membangun sarang walet.
Saat ini di Majene, sarang walet buatan berbentuk bangunan tinggi dengan ciri terdapat lobang lingkaran di sekelilingnya banyak bermunculan. Sarang buatan ini juga dilengkapi pengeras suara burung yang dibunyikan sepanjang hari. Digunakan untuk memanggil walet agar bersarang di bangunan tersebut.
Dibalik potensi bisnis yang menjanjikan, keberadaan sarang walet banyak dikeluhkan. Satu diantaranya, civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Bangsa Majene (Stikes BBM). Kampus yang berlokasi di Lutang, Kelurahan Tande Timur, Banggae Timur itu dikeliling sarang walet. Dua sarang walet terbangun kokoh di samping pagar berdempetan gedung kampus.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikes BBM, Muhammad Algifari mengungkapkan, keberadaan sarang walet berdempetan dengan gedung kampus yang merupakan aula pada lantai dasar dan labolatorium di lantai dua. Hanya berjarak sekira satu meter. Juga tak jauh dari Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Majene dan SDN Inpres 43 Buttu Samang.
Bunyi alat pemutar suara burung di bangunan sarang walet itu sangat mengganggu aktivitas perkuliahan. Apalagi dibunyikan seharian penuh.
"Kalau sedang praktek di lab dan kegiatan di aula sangat mengganggu, pokoknya ribut, jadi sangat menggangggu aktivtas belajar mahasiswa," jelasnya.
Algifari menjelaskan, mahasiswa Stikes BBM telah berunjuk rasa memprotes keberadaan walet beberapa waktu lalu. Sayangnya sampai saat ini belum ada tindakan dari instansi terkait.
Mahasiswa lainnya, Inne Pebrianti juga mengaku sangat terganggu aktivitas sarang walet tersebut. Saat kegiatan perkulihan di labolatorium, suara dosen sering tidak terdengar akibat bunyi burung walet beserta alat pengeras suaranya. Belum lagi, kotoran burung yang sering berceceran di lantai hingga berdekatan peralatan lab.
"Memang dibersihkan setiap hari,tapi menyusahkan juga staf kampus," ujar mahasiswa jurusan keperawatan itu.
Hal senada, dikeluhkan Ketua III Bidang Kemahasiswaan Stikes BBM, Ahmad Rifai. Menurutnya, bunyi pemutar suara walet menimbulkan kebisingan. Apalagi saat praktek rutin di labolarium dan kegiatan di aula.
Belum lagi sarang walet lain yang berdekatan dengan perpustakaan. Kebisingan yang ditimbulkan membuat mahasiswa terganggu saat membaca dan berdiskusi di taman depan perpustakaan.
"Mereka tidak bisa berkonsentrasi melaksanakan prakter di lab, kegiatan di aula dan berdiskusi lepas di perpustakaan," ucapnya.
Ahmad Rifai mengatakan, pemerintah harus mengkaji lebih dulu sebelum pemberian izin pembangunan sarang walet. Apalagi yang berdekatan dengan fasilitas pendidikan.
"Ada ketentuan yang mengatur kebisingan di tempat pendidikan, sekolah atau kampus. Mestinya regulasi itu pemerintah harus kaji sebelum memberikan izin," jelasnya.
Pemkab Majene sebelumnya telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 42 Tahun 2017 tentang Izin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet.
Perbup ini mengatur mekanisme pengurusan izin, syarat, larangan hingga sanksi. Pada pasal 8 diatur mekanisme pengajuan izin pada bupati melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DMP-PTSP). Termasuk kelengkapan izin usaha atau gangguan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin lingkungan untuk pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet di luar habitat alami.
Lebih lanjut pada pasal 15 huruf (e) diatur larangan pengelolaan sarang walet pada kawasan pusat kota Kabupaten Majene dan di tempat yang berdekatan dengan tempat peribadatan, perkantoran pemerintahan, prasarana pendidikan, hotel/penginapan dan fasilitas umum lainnya.
Sansinya diatur dalam Pasal 18 ayat 1 berbunyi, barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, 8, 10 dan pasal 15, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin.
Kabid Data dan Pengendalian DPM-PTSP Majene, Muhammad Syafril Saleh mengaku heran atas terbitnya perbup tersebut. Padahal peraturan daerah (Perda) tentang sarang burung walet belum ada.
Sementara itu, lanjutnya, saat Perbup 42/2017 terbit, belum terbit regulasi pendelegasian kewenangan perizinan terkait sarang burung walet. Regulasi tersebut baru terbut pada 2018 yakni Perbup 53/2018 tentang Perubahan atas Perbup 20/2017 tentang pelimpahan kewenangan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada kepala DPM-PTSP Kabupaten Majene.
Dalam regulasi tersebut diterangkan pendelegasian perizinan pada lampiran bagian I huruf (j) Bidang Lingkungan Hidup, izin pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet. Dengan instansi pemberi rekomendasi yakni Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK), Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Kesehatan serta Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan (DPPP/Distanakbun).
"Sampai sekarang, kita tidak pernah mengeluarkan izin untuk sarang burung walet," bebernya.
Untuk pengelolaan dan penatausahaan sarang burung walet, lanjut Syafril, saat ini DPM-PTSP sedang menggodok rancangan perda. Setelah perda selesai, selanjutnya akan diterbitkan perbup baru sebagai aturan teknis pelaksanaan.
"Perdanya sementara tahap harmonisasi di Kemenkumham Sulbar," ungkapnya.
Kata Syafril, perda nantinya akan mengatur izin pembangunan sarang walet baru maupun yang lama terbangun sebelum regulasi ini ditetapkan. Sarang walet lama akan dibuatkan pengaturan khusus, seperti volume bunyi dan waktu pemutaran alat pengeras suara burung termasuk aspek kesehatannya. Sehingga tidak mengganggu masyarakat di sekitar sarang walet.
Kabid Tata Ruang Dinas PUPR, Muhammad Ramli juga mengaku kesulitan dalam pengontrolan pembangunan sarang walet. Dalam permohonan IMB, biasanya masyarakat tidak mencantumkan pembangunan sarang tersebut.
Modusnya, masyarakat membangun perumahan atau gedung bertingkat seperti rumah toko (ruko), setelah jadi dialih fungsikan ke sarang burung walet.
"Itu kendala di lapangan," ungkapnya.
Seandainya pemohon IMB mencantumkan pembangunan sarang burung walet, sambungnya, maka akan diperiksan kelayakannya. Jika tidak memenuhi syarat, tidak akan diberikan rekomendasi. (Edy)