Air Permukaan Sungai Mamasa Digunakan PLTA Bakaru, Tak Dapat Dana Konpensasi


MAMASA, FMS--Aliran listrik yang menyalakan lampu di sebagian wilayah Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) diproduksi oleh PLTA Bakaru yang berada di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Tapi tahukah kita, bahwa sekitar 70 persen lebih air yang digunakan untuk pembangkit listrik tersebut berasal dari air permukaan Sungai Mamasa, yang hulunya berada di Kabupaten Mamasa, Sulaweai Barat (Sulbar).

Jika debit air dari daerah aliran sungai (DAS) Sungai Mamasa tidak memcukupi, maka dapat dipastikan lebih dari setengah wilayah Sulselbar akan gelap gulita.

Sehingga sangat wajarlah demi memastikan aliran air DAS Sungai Mamasa lancar dan cukup, maka pihak pengelola PLTA Bakaru seharusnya memberikan kompensasi atau bagi hasil kepada Masyarakat Mamasa atas penggunaan air permukaan sungainya.

Namun faktanya sejak Provinsi Sulawesi Barat terbentuk, belum sekalipun Pemerintah Daerah Mamasa menerima dana semacam itu.

Bupati Mamasa, H. Ramlan Badawi yang dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. "Tidak ada. Waktu kita masih satu dengan Sulsel ada sedikit, tetapi setelah kita pisah dengan Sulsel tidak ada lagi (dana dari pihak PLN PLTA Bakaru, red)," katanya membenarkan usai melakukan pertemuan dengan pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulsel, Kamis (10/6).

Ditanya lebih lanjut alasan Mamasa tidak diberikannya bagi hasil penggunaan air permukaan DAS Sungai Mamasa, Ia menuturkan menurut pihak pengelola PLTA Bakaru karena alasan aturan atau regulasi yang katanya tidak mungkin memberikan uang ke daerah lain tanpa aturan yang jelas. 

"Tapi itukan manusia yang bikin, gampang jie," ucapnya sambil berlalu.

Sementara itu Direktur Balai Besar KSDA Sulsel, Thomas menuturkan sekiranya pihak Pemda Mamasa kembali membangun komunikasi dan silaturahmi dengan pihak Pemerintah Provinsi Sulsel dan Sulbar.

"Perlu dilakukan komunikasi antara dua wilayah ini untuk membicarakan bagaimana skema insentif yang dikelola oleh PLN di PLTA Bakaru, khususnya kepada Mamasa karena 70 persen hulu DAS Lariang berada di Kabupaten Mamasa," tuturnya.

Ia menjelaskan hal itu wajar dengan skema payment environmental service atau imbal jasa lingkungan. Komunikasi skema ini dapat dibangun dengan pendekatan hulu dan hilir.

"Hitungan kompensasi bisa dalam bentuk program kerjasana teknis yang dikelola bersama dengan pemberi jasa itu," jelasnya.

Ia lanjut menjelaskan program itu dapat dilaksanakan dengan kolaborasi bersama masyarakat yang ada didalam daerah tangkapan air atau DAS Sungai Mamasa.

"Skema insentif ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan uang langsung kepada kelompok tani dan bisa juga dalam bentuk program kegiatan," lanjutnya.

Soal kewajiban kompensasi atau insentif atas pemanfaatan air permukaan sungai juga disampaikan oleh Program Coordinator, Forest Program IV Project, Kementerian Lingkungan Hidup, Utami yang mengatakan kalau dilihat dari bentuk DASnya sebaiknya memang Mamasa mendapatkan insentif atau konpensasi tersebut.

"Dan itu pernah dilakukan di daerah Cidanau, Banten. Jadi disana ada perusahaan Krakatau Steel yang membayar masyarakat di daerah hulunya untuk menjaga hutan," katanya.

Ia menyampaikan kalau informasi bahwa Kabupaten Mamasa tidak lagi mendapatkan kompensasi atas air permukaan DAS Sungai Mamasa itu benar, maka harus dicari solusinya.

"Nah harus dicari bagaimana metodenya supaya semua tidak bentrok, karena kalau masalah pembayaran kan sangat sensitif," ucapnya.

Pihaknya akan membantu mencari jalan tengah yang terbaik agar Mamasa menjadi kabupaten yang juga mendapatkan konpensasi itu. (kedi)

Related

MAMASA 576294080045138385

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item