Mulai Per 1 Maret, Obat Kanker Usus Tak Ditanggung BPJS Kesehatan
https://www.fokusmetrosulbar.com/2019/02/mulai-per-1-maret-obat-kanker-usus-tak.html
Jakarta, FMS - Kementerian Kesehatan memutuskan untuk menghilangkan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar obat yang ditanggung oleh layanan BPJS Kesehatan. Penghapusan yang berlaku 1 Maret tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.
Dalam keputusan yang dikeluarkan 19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker.
Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar). Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Padahal, dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal sebanyak 12 kali.
Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang baru, pemberian diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau sampai terjadi terjadi perkembangan atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu.
Dalam keputusan menteri yang lama, peresepan diberikan maksimal 12 kali. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan penetapan obat yang masuk ke dalam formularium nasional tersebut sudah dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan masukan tim penilai.
Salah satu pertimbangan penilaiannya adalah dari sisi efektifiras harga dibandingkan dengan manfaat.
"Jadi kami untuk JKN ada penilaian cost effectiveness. Kalau sebuah obat ini terlalu mahal lalu ada obat yang lebih murah, kenapa tidak? Makanya sekarang lebih banyak pakai obat generik, ternyata obat generik manfaatnya sama," jelas Nila di Jakarta, Rabu (20/2).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris ketika dimintai tanggapan mengenai keputusan menteri tersebut menolak untuk memberikan komentarnya.
Menuai Protes
Keputusan menteri kesehatan tersebut menuai protes. Ketua umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menyesalkan keputusan tersebut.
Ia menilai pasien Program Jaminan Kesehatan Nasional seharusnya memiliki persamaan hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, berkualitas dan terjangkau. Sebab, mereka telah menjalankan kewajiban dengan membayar iuran baik secara mandiri maupun Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Jika obat tersebut dianggap tidak value for money, lalu bagaimana menilai hidup pasien kanker yang membutuhkannya?" kata Aryanthi.
Ia mengatakan jika tidak dianulir keputusan tersebut sangat merugikan pasien JKN. Oleh sebab itu, ia berharap Kemenkes bisa menarik keputusannya.
Aryanthi berpendapat sebaiknya Kemenkes melibatkan berbagai pihak, termasuk pasien sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut. "Mohon semua pihak dapat duduk bersama mencari jalan keluar terbaik supaya obat tetap dijamin dan pasien tetap bisa mendapatkan haknya," ujarnya.
Untuk diketahui, Kemenkes sebelumnya juga mengeluarkan obat kanker payudara trastuzumab dari tanggungan BPJS Kesehatan. Akibatnya, pasien menggugat BPJS Kesehatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Setelah dilakukan mediasi, akhirnya BPJS Kesehatan kembali menjamin obat tersebut namun dengan persyaratan tertentu atau restriksi.
(Sumber: CNNIndonesia.com)