Kisah Jurnalis Radar Bali, Prabangsa Hingga Mayatnya Ditemukan di Laut

Jurnalis memegang foto jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa yang menjadi korban pembunuhan pada tahun 2009. [Antara Foto]

"Intinya mereka minta agar Prabangsa tidak lagi menulis soal kasus-kasus korupsi di Bangli."

Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa , jurnalis Radar Bali, ditemukan tewas mengambang di lautan. Walau sempat menyerah, polisi akhirnya mampu menemukan pembunuhnya dan dipenjara seumur hidup. Satu dekade kemudian, sang pembunuh justru diberi remisi oleh Presiden Jokowi.

MUHARI, nakhoda kapal Perdana Nusantara, mengharapkan pelayaran yang lancar seperti biasanya di Teluk Bungsil, Padang Bai, Kabupaten Karangasem, Bali, pada hari Senin 16 Februari 2009.

Namun, kru kapalnya melapor mendapati benda mengambang yang tampak sebagai mayat manusia di koordinat 08.32.882 lintang selatan dan 115.30.672 bujur timur.

Muhari memutuskan untuk mendekati benda tersebut, yang ternyata benar merupakan jasad laki-laki. Mereka membawa serta jasad itu ke daratan.

Sesampainya di darat, mayat itu langsung dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Amlapura, Karangasem, untuk divisum.

Pada saku kiri belakang celana panjang korban, ditemukan dompet berwarna hitam berisi KTP, SIM, STNK untuk sepeda motor GL Pro, juga kartu ATM BNI.

Semua dokumen itu atas nama Prabangsa, jurnalis Radar Bali yang dilaporkan hilang sejak tanggal 11 Februari.

Belakangan diketahui, Prabangsa dibunuh karena getol menuliskan berita yang mengungkap skandal korupsi. Komunitas pers dan publik Pulau Dewata geger.

Dua tahun sesudahnya, 29 Februari 2012, kisah Prabangsa didokumentasikan dalam buku berjudul “Jejak Darah Setelah Berita”, yang diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Buku ini menceritakan hasil investigasi AJI Denpasar mengungkap kasus pembunuhan terencana terhadap jurnalis Prabangsa oleh  I Nyoman Susrama .

***

Senin 16 Februari 10 tahun silam, di RS Amlapura, Dokter Gusti Putra tengah bertugas di bagian forensik. Dia yang melakukan visum atas jenazah Prabangsa.

Secara teliti, Gusti memeriksa sekujur tubuh Prabangsa dan mencatat sejumlah kejanggalan. Jelas ada bekas penganiayaan fisik di sana sini.

Kondisi jasad Prabangsa lebam dan membengkak. Dahinya remuk, dan di leher terdapat luka lebam bekas jeratan tali. Siang itu juga, jasad Prabangsa dikirim ke RS Umum Pusat Sanglah di Denpasar untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Berita penemuan mayat Prabangsa menyebar secara cepat. Semua media massa di Bali mendapat kabar ini. Ketika jenazah itu tiba di Denpasar, puluhan jurnalis sudah menanti di pintu gerbang rumah sakit.

Sang istri, AA Sagung Mas Prihatini, keluarga dan kolega Prabangsa di Radar Bali juga sudah tiba di ruang jenazah.

Berita seorang jurnalis yang ditemukan tewas dengan luka luka bekas penganiayaan, menghenyakkan banyak orang di Bali.

Mendung menggantung di langit Denpasar, Senin sore itu. Sekitar Pukul 16.45 Waktu Indonesia Tengah, ambulans bersirene yang suaranya memekakkan telinga memasuki gerbang Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah.

Sejak beberapa jam sebelumnya, Instalasi Jenazah RS Sanglah sudah penuh orang. Wartawan berkerumun, berkelompok di semua sudut.

Polisi reserse berpakaian preman bertanya macam-macam ke semua orang yang mengakui mengenal Prabangsa. Tampaknya penyidikan sudah dimulai, meski belum resmi.

Aparat belum mengumumkan apa benar sang wartawan tewas dibunuh. Semua orang menduga-duga, mereka-reka skenario dan motif di balik tewasnya Prabangsa. Fakta dan gosip berjalin-kelindan.

Autopsi berlangsung 90 menit. Hasilnya lebih spesifik, para dokter menyimpulkan Prabangsa tewas akibat penganiayaan.

Dia masih hidup ketika tubuhnya yang penuh luka diceburkan ke laut. Bekas penyiksaan terbukti dari temuan luka memar akibat pukulan benda tumpul pada wajah, termasuk luka terbuka di bagian kepala. Pergelangan tangan kanan Prabangsa juga patah.

Rekan kerjanya bercerita, Dua-tiga pekan sebelum menghilang, Prabangsa mengakui sering ketakutan melihat jendela terbuka.

“Beberapa hari sebelum menghilang, dia selalu takut bila ada jendela dibuka,” kata Soepojo, salah satu karyawan pracetak di Radar Bali.

“Katanya takut ditembak orang,” tutur Soepojo. Dia mengira Prabangsa hanya bercanda.

I Nyoman Susrama, pembunuh jurnalis Radar Bali Anak Agung Bagus Narendra Prabangsa pada tahun 2009. [Antara Foto]

Polisi Sempat Menyerah

Dua hari setelah mayat Prabangsa ditemukan, polisi memastikan wartawan itu tewas dibunuh. Untuk mengendus siapa pelaku pembunuhan keji itu, polisi harus mencaritahu dulu motif pembunuhan.

Kaitan antara kematian Prabangsa dan berita-berita yang ditulisnya harus ditemukan. Selain itu, polisi juga membuka kemungkinan Prabangsa tewas akibat urusan lain, yang tak ada kaitannya dengan kegiatan jurnalistik.

Hal paling sulit dalam proses penyidikan awal kasus ini adalah menemukan motif pembunuhan. Semua barang bukti hanyalah yang melekat pada tubuh Prabangsa, ketika mayatnya ditemukan.

Isi dompet Prabangsa tak menceritakan apa-apa. Sehelai karcis yang nyaris tak terbaca semula dianggap sebagai bukti penting. Diduga, karcis itu adalah tiket penyeberangan kapal.

Tapi setelah teliti diperiksa, karcis itu ternyata hanya bukti pembayaran parkir sepeda motor Prabangsa di Denpasar yang terselip di dompetnya.

Informasi dari rekan-rekan sekerja Prabangsa juga sempat menggeser fokus penyidikan ke arah lain. Menurut beberapa kawan dekatnya, Prabangsa sempat terlibat jalinan asmara dengan seorang anggota staf DPRD Bali.

Motif perselingkuhan ini sempat diyakini beberapa orang. Tapi belakangan, bukti-bukti yang mengarah pada motif asmara itu dinilai tak cukup kuat.

Polisi mengakui sudah memeriksa sejumlah orang yang diduga punya kaitan dengan motif itu, tapi mereka tidak menemukan keterkaitannya dengan kematian wartawan tersebut.

Sebulan setelah penemuan mayat Prabangsa, tim penyidik yang dipimpin Akhmad Nur Wahid sudah memeriksa belasan saksi.

Menjelang Maret 2009, polisi juga sudah memastikan pembunuhan Prabangsa tak terkait kisah asmaranya. Tapi petunjuk yang mengarah ke motif lain masih teramat sumir. Polisi seperti kehabisan akal.

Investigasi AJI Denpasar

Pada titik kritis itulah, Aliansi Jurnalis Independen Denpasar, mulai mengambil peran. Dalam pernyataan persnya yang dikutip berbagai media, Ketua AJI Denpasar Bambang Wiyono, mendesak polisi untuk menuntaskan penyidikan atas pembunuhan Prabangsa.

“Kepolisian harus bekerja cepat mengungkap kasus ini. Bisa saja pembunuhan itu terkait masalah pribadi atau dugaan pemerasan, tapi yang penting polisi harus menemukan pelakunya dulu,” katanya kala itu.

AJI Denpasar membentuk tim untuk mengungkap tuntas kasus pembunuhan Prabangsa. Sejumlah tokoh yang berpengaruh di Bali dirangkul untuk menunjang kerja tim.

AJI Indonesia, sebagai organisasi payung AJI Denpasar, langsung memberikan dukungan penuh. Secara cepat, keanggotaan tim membengkak. Advokat, aktivis LSM, politikus, pemuka agama, bahkan preman, bersedia masuk ke dalam tim.

Hasil penelusuran tim menemukan setidaknya ada tiga berita yang berpotensi memancing konflik dengan narasumber. Kebetulan, ketiga berita itu ditulis sendiri oleh Prabangsa dan ketiganya berkaitan dengan Bangli, daerah kelahiran Prabangsa.

Semuanya ditulis pada Desember 2008, sekitar dua bulan sebelum Prabangsa hilang dan kemudian tewas.

Berita pertama muncul pada 3 Desember 2008, berjudul “Pengawas Dibentuk setelah Proyek Jalan.” Isinya tentang kejanggalan dalam proyek pembuatan jalan di Kabupaten Bangli.

Lalu ada lagi berita berjudul “Bagi-bagi Proyek PL Dinas Pendidikan Bangli” yang ditulis sepekan kemudian, pada 8 Desember 2008. Keesokan harinya, Prabangsa menulis berita lanjutan soal dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Bangli dengan judul “SK Kadis Dinilai Cacat”.

Ketiga berita itu menunjukkan Prabangsa sebenarnya tengah mengendus jejaring permainan manipulasi anggaran negara di Pemerintahan Kabupatan Bangli.

Dia dimungkinkan mengetahui tokoh utama di balik sekelumit dugaan korupsi yang ditulis. Anehnya, ketiga berita itu hanya muncul sekelebat pada Desember 2008, lalu mereda.

Ketua Umum AJI Indonesia berorasi dalam aksi aksi protes pemberian remisi terhadap pembunuh jurnalis Radar Bali di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/1/2018). [dok/AJI Jakarta]

Penemuan ketiga berita yang berpotensi menjadi sumber masalah bagi Prabangsa ini menguatkan dugaan awal Tim Advokasi, bahwa kematian wartawan itu terkait dengan berita tersebut. Namun, informasi yang sangat berharga ini tetap tak mempan memacu polisi bekerja lebih cepat.

Penemuan tiga berita yang ditulis Prabangsa pada Desember 2008 soal korupsi di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli, justru menjadi petunjuk awal buat para jurnalis.

Mereka mulai menghubungi sumber-sumber di lingkungan pegawai negeri dan pejabat di Bangli, yang dianggap tahu soal korupsi Dinas Pendidikan dan proyek-proyek pemerintah.

Pada awal April 2009, sejumlah wartawan mulai mengetahui peran besar Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, dalam berbagai proyek pembangunan di kabupaten itu.

Susrama adalah seorang kontraktor, yang sering memenangkan tender pembangunan dan pengadaan di dinas-dinas maupun instansi pemerintah lain di Bangli.

Salah satu berita korupsi yang ditulis Prabangsa adalah soal proyek Susrama di Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli.

Titik terang mulai muncul. Wartawan mulai menelisik latar belakang Susrama, dan mencari tahu apa saja kegiatan dan keseharian tokoh ini.

Dari beberapa sumber, terungkaplah bahwa Susrama belum lama ini terburu-buru memindahkan mobil Kijang Rover miliknya ke Yogyakarta. Mobil Kijang warna merah bernomor polisi B 8888 AP rupanya diserahkan kepada saudaranya yang bekerja di Dinas Perhubungan Yogyakarta.

Sopir Susrama, Endi Mashuri, khusus diminta membawa mobil itu sampai ke Yogya. Beberapa informan lain juga bercerita bahwa saudara tiri Prabangsa, Anak Agung Ayu Rewati, ternyata bekerja untuk Susrama di perusahaan air minum kemasan “Sita”, milik Pemerintah Kabupaten Bangli.

Meski perusahaan itu berstatus badan usaha milik kabupaten, sehari-hari pengelolaannya berada di tangan adik sang bupati.

Nah, Rewati belum lama mengundurkan diri dari perusahaan itu karena tersinggung oleh tindakan Susrama. Ketika Prabangsa meninggal dunia, Susrama sama sekali tidak hadir pada upacara pemakaman.

Bahkan, tak satu pun karyawan dan manajemen perusahaan air minum itu yang menampakkan batang hidungnya di rumah duka. Ini jelas di luar adat kebiasaan yang berlaku.

Biasanya, jika ada sanak keluarga karyawan yang meninggal dunia, perusahaan pasti mengirim wakil untuk datang dan memberikan bantuan ala kadarnya. Saking marahnya, Rewati tak mau lagi bekerja untuk Susrama.

Cerita soal ini menyebar dari mulut ke mulut dan akhirnya sampai ke telinga para wartawan. Selain Rewati, ada satu orang lagi yang tak lagi tampak bersama Susrama setelah Februari 2009.

Orang itu adalah Komang Gede Wardana alias Mangde. Sebelumnya, Mangde selalu ada di dekat Susrama kemana pun lelaki itu pergi. Dia seperti pengawal pribadi Nyoman Susrama. Tapi belakangan dia menghilang.

Tak hanya itu, penelusuran lain menemukan fakta sekitar akhir Februari 2009, Susrama mengadakan upacara Mecaru di rumahnya di Banjar Petak, Desa Bebalang, Bangli.

Upacara Mecaru adalah upacara adat di Bali untuk membersihkan rumah dan pekarangan dari roh jahat atau dari kekotoran akibat tindakan tertentu. Upacara itu menjadi aneh karena menurut warga sekitar, rumah Susrama di Banjar Petak itu selama ini dikenal kosong.

Karena maraknya pemberitaan yang mendesak Polisi mengusut tuntas kasus ini, akhirnya Polda Bali membentuk Tim khusus.

Tim ini menemukan sejumlah bukti—berupa pesan pendek maupun isi percakapan telepon—antara Prabangsa dengan sejumlah orang yang belakangan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan ini.

“Intinya mereka minta agar Prabangsa tidak lagi menulis soal kasus-kasus korupsi di Bangli. Mereka minta agar pemberitaan soal kasus tersebut dihentikan,” kata Akhmad Nur Wahid, komandan Tim Lima.

Sejak bukti percakapan dan pesan pendek itu ditemukan, penyidikan polisi mulai mengarah pada orang-orang tertentu di Bangli. Mereka adalah Kepala Dinas Pendidikan Bangli, Anak Agung Ngurah Samba, dan keponakannya, Anak Agung Sastrawan.

Polisi juga mulai mencari kaitan pembunuhan ini dengan Nyoman Susrama, adik Bupati Bangli, dan kawan dekat sekaligus pengawalnya, Nyoman Wiradnyana alias Rencana.

Sastrawan adalah kontraktor yang mengerjakan proyek pembangunan sekolah di Dinas Pendidikan Bangli. Sedangkan Susrama dikenal sebagai penguasa tak resmi yang kerap menentukan siapa pemenang tender-tender di Bangli.


Karma Susrama

Tiga bulan setelah kematian Prabangsa, Susrama diperiksa polisi untuk kali pertama. Selain Susrama, Bupati Bangli Nengah Arnawa juga sudah diperiksa polisi. Menyusul kemudian, Kepala Dinas Pendidikan Bangli Anak Agung Ngurah Samba.

Pemeriksaan ketiga tokoh itu menunjukkan penyidikan polisi mulai mengarah pada motif pembunuhan yang terkait pemberitaan Prabangsa.

Dalam satu operasi penggeledahan, polisi mendapat durian runtuh. Mereka menemukan bekas ceceran darah yang sudah mengering di pekarangan belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Desa Bebalang, Bangli.

Rumah itu diperiksa karena ada kabar Susrama sempat menggelar upacara Mecaru (upacara pembersihan) di kediaman yang selama ini dikenal tak berpenghuni itu. Polisi segera menggelar uji forensik untuk mengetahui asal muasal darah kering itu.

Bukti lain yang memantik kecurigaan polisi adalah, upaya Susrama untuk menghilangkan jejak mobil Kijang Rover miliknya.

Mobil itu sudah diserahkan ke saudara Susrama di Yogyakarta. Tak mau ketinggalan langkah, polisi mengejar mobil itu ke Yogya.

Setelah Susrama diperiksa, polisi mulai melacak dua orang yang selama ini dikenal sebagai kawan dekat dan pengawal pribadi Susrama. Mereka adalah Komang Gede Wardana alias Mangde dan Nyoman Wiradnyana alias Rencana. Dua orang ini diduga berperan menjadi eksekutor pembunuhan Prabangsa.

Selain itu, rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang sampai dua kali digeledah polisi. Pada pemeriksaan kedua yang lebih lama dan teliti, polisi menelusuri jengkal demi jengkal sudut rumah itu.

Dua mobil yang ada di sana juga diperiksa luar dalam. Hasilnya tak mengecewakan. Polisi menemukan karpet mobil yang penuh darah kering, disembunyikan di salah satu sudut rumah.

Dari sana, polisi bergerak ke rumah kontrakan Susrama di Jalan Ngurah Rai, Bangli. Tak mau membuang waktu, polisi juga mengirim tim untuk menggeledah rumah Rencana di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung.

Dua celana jins dan jaket millik sang tuan rumah diperiksa secara teliti. Tim Laboratorium Forensik Polda Bali bahkan sempat mengambil sampel kotoran yang melekat pada pakaian-pakaian itu.

Sehari setelah Susrama diperiksa, polisi berhasil menemukan mobil Kijang Rover Susrama di Yogyakarta. Tampak jelas kalau mobil itu sengaja disembunyikan dan dijauhkan dari polisi di Bali.

Ketika ditemukan, cat mobil itu sudah berubah, dari merah menjadi hijau. Selain itu, nomor kendaraannya juga diganti, dari B 8888 AP menjadi AB 8888 MK.

Setibanya di Denpasar, mobil Kijang itu langsung diperiksa tim Labfor Polda Bali. Di sana, polisi menemukan banyak bukti baru.

Misalnya, ada enam titik bercak darah dan potongan rambut di bawah jok tengah bagian kanan. Darah itu dipastikan sama dengan darah yang ditemukan polisi pada karpet mobil yang disembunyikan di rumah Susrama.

Golongan darah itu juga serupa dengan golongan darah Prabangsa. Akhirnya, pada 24 Mei 2009, tim penyidik Polda Bali mengadakan rapat untuk menggelar semua bukti dan kesaksian dalam kasus pembunuhan Prabangsa. Hampir semua alat bukti menunjuk ke arah yang sama.

Kesimpulan tim sudah bulat. Keesokan harinya, persis 100 hari setelah kematian Prabangsa, karma buruk mulai mengenai Susrama, ia ditetapkan sebagai tersangka dalang pembunuhan Prabangsa.

Kapolda Bali kala itu, Irjen Ashikin Husein, dalam gelar kasus, mengumumkan penetapan status tersangka atas tujuh orang yang diduga terlibat dalam pembunuhan wartawan Radar Bali itu.

Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni hukuman mati.

Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun. Upaya mereka untuk banding tak membuahkan hasil.

Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya kesembilan terdakwa, April 2010. Keputusan ini diperkuat oleh hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.

Namun, 7 Desember 2018, melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018, Presiden Joko Widodo memberikan remisi kepada Susrama dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara.

Tuai Protes

Kepres yang memberikan remisi kepada Susrama kontan menuai protes dari banyak kalangan, terutama komunitas jurnalis.

Presiden Jokowi yang meneken surat itu, justru menolak menjawab desakan pencabutan remisi kepada pembunuh wartawan di Bali.

Jokowi meminta wartawan untuk bertanya ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Yasonna Laoly.

"Tanyakan ke Menkumham," kata Jokowi secara santai di Alun-Alun Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (25/1/2019).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly membantah memberikan grasi kepada Susrama. Ia mengatakan memberikan resmisi perubahan.

"Itu bukan grasi, remisi perubahan. Remisi," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (23/1/2019).

Menurutnya, remisi itu diberikan atas pertimbangan Susrama sudah hampir 10 tahun mendekam di bilik penjara dan berkelakuan baik, juga umurnya sudah tua.

"Dia sudah 10 tahun (dipenjara) tambah 20 tahun, 30 tahun. Umurnya sekarang sudah hampir 60 tahun. Dia selama melaksanakan masa hukumannya, tidak pernah ada cacat, mengikuti program secara baik, berkelakuan baik," ungkap Yasonna.

Menkumham juga menegaskan, pemberian remisi perubahan terhadap I Nyoman Susrama dari hukuman penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara telah melalui proses cukup lama.

Yasonna mengungkapkan, proses remisi perubahan ini diusulkan oleh lembaga pemasyarakatan setelah menimbang rekam jejak Susrama, dan dibawa ke Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk diusulkan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

"Di Kanwil dibahas lagi. Kanwil membuat rapat kembali ada TPP-nya lagi, diusulkan lagi rekomendasinya ke Dirjen PAS. Dirjen PAS rapat kembali buat TPP lagi, baru diusulkan ke saya," paparnya.

Yasonna juga mengungkapkan bahwa keputusan pemberian remisi perubahan ini melibatkan institusi lain.

"Jadi jangan dipikir ini hanya sekali, dua kali. Banyak sekali kejadian seperti ini. Apalagi ini bukan 'extraordinary crime'  (kejahatan luar biasa)," ujarnya.

Yasonna kembali mengatakan, pemberian perubahan hukuman dari seumur hidup ke 20 tahun penjara ini karena terpidana sudah berubah baik.

"Jadi jangan melihat sesuatu sangat politis, orang dihukum itu tidak dikasih remisi. Enggak muat itu Lapas kalau semua yang dihukum enggak pernah dikasih remisi.”

Sementara cendikiawan Muslim Azyumardi Azra menyesalkan resmisi terhadap Susrama. Bahkan, Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta itu menilai emisi tersebut sebagai bentuk nyata pemerintah yang tak konsisten.

"Ironis, (pemerintah) tidak konsisten," kata Azyumardi di Gedung Bhayangkari, Jakarta Selatan, Minggu (27/1/2019).

Azyumardi menyamakan adanya pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama itu dengan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir, yang akan dibebaskan atas dasar kemanusiaan namun masih dalam proses pertimbangan.

"Kalau terorisme kan kejahatan kemanusiaan, harus dihukum seberat-beratnya. Malah kemudian akan dibebaskan atas dasar kemanusiaan. Lalu ada pembunuhan wartawan, tapi pembunuhnya malah dapat remisi, jadi ini suatu hal yang ironis," jelasnya.

Melalui dua kasus ini, Azyumardi meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dalam memutuskan sebuah kebijakan agar tidak mencederai peraturan hukum yang berlaku.

"Pemerintah mesti bisa mengoreksi kebijakan-kebijakan yang menurut saya tidak konsisten dan bisa mencederai pelaksanaan hukum di Indonesia.”

Jumat (25/1) pekan lalu, AJI di berbagai daerah menggelar aksi secara serentak untuk menuntut Presiden Jokowi mencabut remisi Susrama.

Bahkan, AJI Jakarta bersama LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta dan Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), menggelar aksi di seberang istana sang presiden.

“Kami mengecam kebijakan Presiden Jokowi yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis. Fakta persidangan jelas menyatakan bahwa pembunuhan ini terkait berita dan pembunuhannya dilakukan secara terencana,” kata Prima Gumilang, Koordinator Aksi AJI Jakarta.

Menurut Prima, Susrama dihukum ringan yakni penjara seumur hidup karena jaksa sebenarnya menuntut hukuman mati.

Oleh sebab itu, keputusan Jokowi memberikan remisi terhadap pembunuh jurnalis tersebut dinilai mencederai keadilan.

“Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia,” ujar dia.

Maka dari itu, AJI Jakarta mendesak Presiden Jokowi mencabut Keppres pemberian remisi terhadap Susrama. Sebab kebijakan itu bertentangan dengan kebebasan pers.

“AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan terus berlanjut,” terangnya.

Selain itu, AJI Jakarta juga meminta Presiden Jokowi menuntaskan 8 kasus  pembunuhan jurnalis lainnya yang belum tersentuh hukum.

Delapan kasus itu, di antaranya: Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas  Yogya (1996); pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya  (2006); dan, kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV  (2010).

Selanjutnya kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).

(Sumber: Suara.com)

Related

#NASIONAL 4798164174877927191

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item