Perjuangan Perawat Honorer Mengalir Dukungan
https://www.fokusmetrosulbar.com/2018/12/perjuangan-perawat-honorer-mengalir.html
Mamuju, FMS - Perjuangan perubahan nasib para perawat honorer di Kabupaten Mamuju, Sulbar terus mendapatkan dukungan dari semua pihak termasuk dari GNPHI Sulsel dan Palu, Sulteng.
Dukungan itu mengalir sebagai tanda spirit buat perawat honorer dalam memperjuangkan perubahan nasibnya.
Salah satunya dukungan datang dari Warga Mamuju, Hj. Rukmana (60). Menurutnya, keprihatinannya dengan nasib para tenaga kesehatan khususnya perawat di daerah Mamuju. Ia menilai, perawat sebagai orang yang terdepan dalam memberikan kesehatan kepada masyarakat seharusnya bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak.
"Saya mendengar ini cukup prihatin apalagi perawat ini kan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kesehatan orang-orang. Pasti ada kesalahan dari kebijakan yang ada selama ini," ujarnya.
Mereka (perawat,red) berhak atas apa yang menjadi tuntutannya. "Siapa yang tidak ingin sejahtera? Pasti semua mau kan, ya termasuk perawat juga," cetusnya.
Ia mengakui, persoalan kesejahteraan khususnya untuk pekerja non PNS di berbagai profesi masih memprihatinkan.
"Insentif perawat PNS terus ditingkatkan, tapi soal non pns itu memang masih jadi problem, tidak hanya profesi perawat tapi juga profesi lainnya apalagi di daerah. Ini problem menahun dan tak pernah ada solusinya," jelasnya.
Mantan ASN bidan ini yang sekarang berkiprah menjadi pengusaha menambahkan, saat ini DPRD dan Pemda Mamuju harusnya menginisiasi soal pengupahan sebagai solusi atas persoalan kesejahteraan ini.
"Kalau begini terus, pelayanan kesehatan dipastikan terhambat. Bukalah hati demi kemaslahatam semua," katanya.
"Kasian para perawat honorer, mereka menuntut hak tapi selalu ditunda-tunda. Kemana nurani kita, disaat melihat perawat datang menuntut haknya sambil membawa anak-anak mereka yang masih bayi. Trauma psikis pastinya akan berimbas kepada anak mereka," tutupnya.
Sebelumnya, aksi mogok dilakukan perawat yang tergabung dalam GNPHI Kabupaten Mamuju.
Mereka menuntut agar Pemerintah Daerah Kabupaten Mamuju memperhatikan nasib mereka dengan menyetarakan gaji sesuai Upah Minimum Pekerja (UMP).
"Selama ini, kami bekerja hanya digaji Rp 400 ribu per bulan, itu pun kami terima per 3 bulan," kata koordinator GNPHI Mamuju, Anjas beberapa hari lalu.
Tindakan yang diambil dengan aksi mogok kerja, agar Pemda Mamuju betul-betul memperhatikan nasib para perawat.
Anjas menilai, selama ini peran dari perawat honorer sangat besar dalam membantu pelayanan medis. Namun hasilnya, pemerintah tidak serius memperhatikan nasib perawat.
Sementara itu, Bupati Mamuju, H. Habsi Wahid mengemukakan bahwa, apa yang menjadi tuntutan para perawat tidak semua bisa diakomodir.
"Kalau soal moratorium tenaga kontrak, kita sudah lakukan dan tidak akan ada lagi penerimaan tenaga kontrak. Tapi kalau soal kenaikan gaji itu tidak mungkin bisa kita lakukan," terang Habsi, Senin (10/12/2018) kemarin.
Menurutnya, keputusan itu didasarkan pada pertimbangan jumlah perawat honorer yang ada dan sudah melebihi batas minimal tenaga yang dibutuhkan, asumsinya sesuai dengan Permenkes Nomor 75 tahun 2014.
"Kita hanya membutuhkan 140 orang perawat, sementara saat ini jumlah perawat honorer yang tercatat hampir 600 orang. Belum lagi kondisi ini harus dilihat secara menyeluruh karena tenaga honorer yang selama ini kita angkat berdasarkan kebijakan pemerintah daerah dengan niat untuk membukakan lapangan kerja bagi masyarakat, tidak hanya dari tenaga kesehatan tapi juga ada tenaga guru, ada tenaga kebersihan dan sejumlah tenaga teknis lainnya yang tidak kalah penting," ujarnya.
Habsi melanjutkan, jadi total jumlah honorer lebih dari 7.924 orang.
"Jika hari ini tuntutan perawat berupa kenaikan gaji setara Upah minimum Kabupaten (UMK) senilai Rp 2,3 juta perbulan kita lakukan, maka harus dipikirkan tenaga honorer lain, tentunya nanti mereka akan menuntut hal yang sama," papar Habsi.
Jika dikalkulasikan antara jumlah tenaga kontrak dengan gaji setara UMK maka dibutuhkan sekitar Rp 218 miliar lebih untuk menggaji seluruh tenaga kontrak.
"Jujur, APBD kita tidak akan sanggup karena di waktu bersamaan akan membiayai sejumlah sektor yang wajib mendapatkan porsi anggaran, diantaranya sektor pendidikan dengan porsi 20 persen dari total APBD, alokasi dana desa sebesar 10 persen, sektor kesehatan 10 persen, alokasi untuk pembangunan infrastruktur sebesar 25 persen, sehingga yang tersisa hanya sekitar 35 persen anggaran yang dapat dialokasikan ke semua OPD termasuk membiayai gaji pegawai dan juga aspirasi Dewan," sebut Habsi.
Terlepas dari itu, Habsi menilai gerakan yang dilakukan para perawat honorer masih dalam batas kewajaran, namun demikian ia meminta agar mereka segera menyudahi aksi mogok kerja karena akan sangat berdampak pada masyarakat.
"Kalau mereka mogok kasihan masyarakat. Jadi saya menghimbau agar adik-adik perawat untuk dapat kembali bekerja sebagaimana mestinya dan harusnya semua dapat bersabar karena masih ada alternatif solusi dengan lahirnya PP 49 tentang tenaga PPPK," ucapnya.
Dirinya telah meminta kepada Sekretaris Daerah untuk mengeluarkan edaran yang salah satu pointnya, memberikan kesempatan kepada para perawat untuk kembali bekerja paling lambat sampai tanggal 15 desember 2018.
"Jika dalam kurun waktu tersebut, mereka tidak dapat kembali aktif dibuktikan dengan evaluasi absensi tiap instansi terkait, maka mereka dinyatakan mengundurkan diri dan tidak siap untuk menjadi tenaga honorer daerah," tegas Habsi.
(astuti)