Konvergensi Islam dan Ada' Tuho di Masyarakat Ulumanda

Penyelenggaraan jenazah, dikerjakan Sesuai Syariat Islam tapi masih kental kebiasaan adat budaya Ada' Tuho (dok: penulis)
*Harmegi Amin (2017) -- Ada' Tuho adalah kebiasaan leluhur yang lahir jauh hari sebelum kedatangan agama, termasuk kedatangan agama Islam dan Kristen di Ulu Salu dan Tanah Mandar pada umumnya. Untuk Ulumanda sendiri, kita akan menemukan konvergensi (perjumpaan) yang baik antara Islam dan budaya Ada' Tuho. Perjumpaan itu tampak dengan rapih bahkan nyaris sempurna. Dikatakan rapih karena Islam dan Ada' Tuho di masa kini mampu beriringan, ajaran Islam dijalankan baik tanpa meninggalkan kebiasaan nenek moyang yang dianggap tak masalah bagi pandangan keislaman. Di sini terjadi saling menerima serta keduanya mampu menyesuaikan sehingga tidak terdapat gesekan tajam kecuali beberapa ritual dalam kebiasaan Ada' Tuho yang memang sebagian orang menganggapnya menyimpang (bid'ah). Secara umum, syariat Islam bisa masuk kepemahaman budaya Ada' Tuho pun sebaliknya kebiasaan Ada' Tuho diterima baik dan dijalankan beriringan oleh masyarakat. Di kemudian hari penulis kemudian menemukan suatu "rahasia" bahwa keberadaan Islam ternyata dianggap serupa dengan kepercayaan dasar Ada' Tuho, faktor ini sangat kuat diduga menjadi asbab diterimanya agama Islam secara sempurna.

Lalu pertanyaan kita selanjutnya, dimana serupanya antara Ada Tuho dengan teologi Al-Islam? Jawabannya ialah, bahwa di dalam kepercayaan Ada' Tuho dikenal istilah Ada' Mannunnungang yang secara sederhana "Mannunnungang" berarti kekal atau azali, disebut juga Ada' Simemangang atau kepercayaan asal-mula. Konon kepercayaan ini berasal dari Mappuraondo yang disebut sebagai agama atau kepercayaan nenek moyang. Istilah Ada' Mannunnungang dikenal orang pada dimensi batiniah atau dianggap sebagai suatu kebiasaan kehidupan gaib. Di ruang keyakinan itu dikenal pula istilah Walli Ada' yang oleh masyarakat Walli Ada' ini diyakini sebagai penguasa alam semesta. Sebagaimana kutipan "Walli Ada' Mellisu Baho di Langi" (penguasa alam bersemayam di atas langit) yang merupakan pesan leluhur orang Ulumanda untuk mendeskripsikan bahwa keberadaan Walli Ada' itu ada, di atas langit. Setelah Islam datang maka pemahaman Walli Ada' tereduksi kedalam teologi Al- Islam. Akibatnya ajaran Rasullah Mahammad SAW ini diterima karena dianggap lebih tepat untuk menjelaskan kehidupan gaib, termasuk menjelaskan tentang Walli Ada' yang kemudian diterjemahkan sebagai Allah SWT. Itulah sebabnya 100 persen warga Ulumanda memeluk agama Islam dengan benar tetapi kebiasaan lahiriah Ada' Tuho-nya tetap terpelihara. Kepercayaan lama tentang Walli Ada' dikupas tuntas melui syariat Islam sehingga orang Ulumanda membangun paradigma baru bahwa yang dimaksud Walli Ada' adalah Dzat Allah SWT. Hal inilah yang menarik sebab terbukti bahwa agama dan keyakinan tempo dulu ternyata bisa dielaborasi, dirangkai bersama dan tentu dengan segala konsekuensi di dalamnya. Dan salah satu contoh konsekuensi itu ialah agama harus mengikis atau lebih tepatnya mengoreksi kebudayaan dan adat kebiasaan serta mengakomodir kebiasaan lainnya yang dianggap pantas. Beberapa contoh adat kebiasaan dalam Ada' Tuho yang dikoreksi Islam adalah ritual "Toniallung" (menyimpan jenazah) dan "Mappakande Dehata Lita" (memberi makan dewata/dewa penguasa bumi). Ritual-ritual itu ditinggalkan masyarakat Ulumanda karena dianggap menyimpang jauh dari syariat agama (musyrik).

Berbicara soal masuknya Islam di Ulumanda, maka tidak ditemui suatu fakta yang secara pasti menguraikan mulanya darimana, tetapi menurut beberapa tokoh masyarakat agama Islam masuk melalui Bulobulo. Bulobulo sendiri merupakan salah satu tempat ditemukannya Tosalama. Tosalama ini adalah orang saleh yang punya peran menyebar luaskan Islam di Tanah Mandar, termasuk di Ulu Salu. Islam masuk ke Ulumanda diperkirakan sekitar abad ke-17 M kira-kira bersamaan dengan penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah PUS lainnya. Salah satu bukti masuknya penyebaran Islam ke Ulumanda adalah dengan ditemukannya khutbah berbahasa Arab di Kabiraan, pusat kecamatan Ulumanda sekarang. Khutbah tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-13 dan diyakini menjadi salah satu warisan budaya warga Salupaondo Kecamatan Ulumanda. Disinyalir bahwa khutbah itu adalah peninggalan dari Toilang di Bulobulo yang dibawa ke Ulu Salu. Khutbah dengan motif tulisan naga dan ukiran Cina itu setidaknya dibuat di Negeri Tirai Bambu kalau bukan di Timur Tengah. Yang pasti bukan karya nusantara.

Perkiraan masuknya Islam ke Ulumanda ini juga relevan dengan tulisan Ibrahim Abbas (1999) yang menyebutkan, bahwa sejarah awal mula Islam di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo. Kehadiran Tuanta di Bulobulo membuat Indo Kadanene’ atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam), lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka’ Mambi, Tomakaka’ Matangga dan mungkin termasuk Tu'bi dan Ulumanda. Hal yang sama dibeberkan Abd. Rahman B (Imam Masjid Taukong kecamatan Ulumanda), yang menuturkan bahwa Islam yang masuk di Taukong melalui Toilang (Tosalama) di Bulobulo daerah Kecamatan Tutar Kabupaten Polewali Mandar sekarang.

Perlu diketahui, bahwa kerajan-kerajaan di Ulu Salu tidak semua menerima Islam. Belum diketahui apakah mereka menolak Islam atau tidak sempat dijangkau penyebaran agama tersebut. Misalnya di Tabang, sebagian Tabulahan, Bambang dan Kalumpang, kendati demikian telah terjadi hubungan harmonis yang baik antara peluk Islam dan non Islam di wilayah-wilayah ini. Penulis secara subjektif menilai bahwa, ada ikatan kekeluargaan, dan kebiasaan yang mengikat para pemeluk agama di Ulu Salu yang menguatkan harmonisasi kehidupan antar agama dan kepercayaan masyaraat Ulu Salu. Kebiasaan yang dimaksudkan adalah Ada' Tuho, yang pada sesungguhnya adalah kearifan bersama.


*Peneliti Budaya Ada' Tuho Ulumanda

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item