CERMIN BURAM ANAK DI ERA MASYARAKAT INFORMASI
https://www.fokusmetrosulbar.com/2017/03/cermin-buram-anak-di-era-masyarakat.html
* Mahyuddin |
OPINI-- Akhir-akhir ini kita menyaksikan video-video dan percakapan kedua pasangan anak yang viral di media sosial. Video dan percakapan tersebut menggambarkan kepolosan dan keluguan yang ditampakkan beberapa anak usia dini (usia sekolah dasar). Sebuah perilaku yang mungkin tidak lazim dilakonkan oleh kebanyakan anak-anak seusia mereka.
Di sana dilukiskan dengan begitu gamblang seorang anak yang tengah dimabuk cinta dan kedua pasangan anak melakukan praktik komunikasi ala romantis layaknya pasangan suami istri. Bagi sebagian orang, barangkali fenomena ini dipahami sebagai sesuatu hal yang normal-normal saja sebagai bagian dari fase di mana anak-anak tersebut sudah mulai memasuki usia pubertas (masa akil balig). Karena, perkembangan usia puber seorang anak akan selalu bergerak menuju perkembangan kematangan biologis.
Tetapi, kita juga harus melakukan pembacaan ulang secara kritis bahwa tingkatan masa puberitas tersebut tak lagi dapat dipahami sekadar bergerak maju dalam keadaan alamiah melainkan melihat dari sisi kekuatan sosial dibaliknya yang telah menyebabkan krisis patologi sosial anak usia dini. Kondisi ini pada dasarnya tidak lepas dari bentukan media informasi (teknologi komunikasi dan internet). Anak-anak sedikit banyak meniru perilaku yang disuguhkan oleh media informasi seperti televisi dan media sosial lainnya.
Jejak-jejak “dunia dewasa” telah dihadirkan secara sadar ke dalam “dunia anak-anak” di layar kaca dalam bentuk hubungan mesra-mesraan usia anak sekolah layaknya usia dewasa. Simaklah tayangan-tayangan TV yang hampir setiap hari menampilkan citra-citra sinetron dan drama percintaan mulai dari usia sekolah SMP sampai SMA. Sebuah cermin perilaku buatan media yang dikemas dengan sangat luks dan eksklusif dalam aras dunia percintaan kaum muda mudi.
Dalam memoles realitas kehidupan muda mudi tersebut, di sana direpresentasikan bahwa percintaan anak usia sekolah adalah hal yang wajar. Ironisnya, produk-produk budaya tersebut yang tidak seharusnya dipertontonkan dipandang masyarakat sebagai sesuatu yang sudah umum berlaku bahkan protes penayangan sinetron yang dianggap tidak etis itu malah tak bergeming (Ibrahim, 1997). Maka, tidak heran ketika banyak kalangan anak-anak yang mengadopsi tayangan-tayangan layar kaca hari ini.
Akibatnya, sebagian anak usia dini telah beranjak memasuki suatu fase prematur dewasa (praktik perilaku anak layaknya orang dewasa). Barangkali belum luput dari ingatan kita beberapa percakapan di media sosial kedua anak usia sekolah dasar yang memperagakan interaksi sosial dengan panggilan “Ayah dan Bunda” sebagai simbol hubungan romantisme. Tidak hanya itu, hari-hari terakhir juga begitu masif tayangan video seorang anak mengungkapkan rasa sukanya secara terang-terangan kepada rekanan sesama kelasnya yang disaksikan banyak orang.
Video-video tersebut telah disebarluaskan oleh berjuta-juta pengguna media sosial, padahal anak-anak tersebut boleh dikata masih dibawah umur sehingga serasa tidak etis melakukan tindakan demikian karena perilaku tersebut tentunya masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu bagi sebagian besar masyarakat kita. Gejala tersebut tentu saja sangat menggelitik dan memprihatinkan. Karena, di balik kepolosan anak-anak tersebut kita masih menaruh harapan besar agar kelak menjadi orang berguna bagi negeri ini.
Namun, kini harapan itu sedang sakit karena dilanda perang budaya media informasi. Mau dibawa kemana generasi muda harapan tersebut jika perilaku (budaya pacaran usia dini) yang ditampakkan oleh anak-anak hari ini menjadi sesuatu yang lumrah? lalu dimana peran penting lembaga keluarga dalam membentuk moral anak-anak?
Kendatipun media informasi pada satu sisi memberi manfaat bagi anak-anak untuk mengetahui berbagai informasi tetapi di sisi lain juga membawa dapat negatif yang cukup meluas. Ini bukan hanya berdampak terhadap kehidupan remaja tetapi juga anak-anak. Bahkan, pada skala yang lebih besar juga telah merembes ke lembaga-lembaga sosial yang lain. Tidak dapat disangsikan bahwa di era kontemporer saat ini kompleksitas masalah sosial memang semakin menjadi-menjadi. Salah satunya ialah semakin melemahnya peran keluarga dalam mengontrol tindak tanduk perilaku seorang anak. Benar juga kata Kuntowijoyo, bahwa peran penting lembaga keluarga kini sudah tidak utuh lagi, dipecah belah budaya usia dewasa melalui media informasi.
Ini menandakan bahwa proses sosialisasi terhadap anak lebih banyak dipengaruhi oleh siaran televisi dan informasi internet daripada petuah orang tua itu sendiri. Dalam kondisi demikian, anak-anak yang belum memiliki pertahanan kuat dalam hal filterisasi budaya akan sangat rentan dalam mengadopsi produk-produk budaya yang kurang etis dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita. Karenanya, fenomena sosial di atas juga banyak menjadi perbincangan serius sekaligus menjadi kritikan bagi para teoritikus kritik posmodern bahwa kehidupan sosial era masyarakat informasi saat ini justru semakin melemahkan individu dan suramnya nalar (Agger, 2014). Betapa tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan-kemajuan media informasi hari ini secara perlahan telah menggeser institusi tradisional semacam keluarga, agama dan pendidikan sebagai sumber makna yang berdampak secara signifikan terhadap terjadinya pergeseran nilai yang demikian masif.
Dengan demikian, di tengah kompleksitas sekelumit persoalan sosial di era masyarakat informasi ini, satu hal yang tak kalah penting dan mendesak yang perlu diperhatikan ialah perihal moralitas anak usia dini. Jika permasalahan remaja saja belum bisa diselesaikan secara tuntas hingga hari ini, tentu ini akan menjadi tantangan yang jauh lebih besar bilamana persoalan yang satu ini tidak segera dicarikan langkah penyelesaiannya. Kelalaian terhadap masalah moralitas anak sebagai pelanjut estafet pembangunan, meminjam istilah Suprapto Estede (2014), dapat berdampak serius pada pencapaian tujuan bangsa, bahkan pada eksistensi bangsa ini. Karena, kekuatan bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan moral atau akhlak anak bangsanya.
Untuk itu, diperlukan keterlibatan berbagai stakeholder untuk penyembuhan penyakit dekadensi moral anak usia dini. Ini bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah, tokoh agama ataupun masyarakat secara umum melainkan peran guru dan orang tua demikian penting bersebab merekalah benteng pertama pertahanan moralitas seorang anak dibawah penetrasi dampak buruk hidup di era informasi.
Sejatinya mereka harus lebih banyak memberikan pemahaman tentang pentingnya akhlaqul karimah (moral dan budi pekerti yang mulia) dalam keseharian mereka dan memastikan bahwa lingkungan sosial untuk anak benar-benar menghadirkan nilai-nilai etika sosial (melakukan kontrol sosial terhadap media) dalam perikehidupan sehari-hari. (*)
* Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta