Membunuh Egoisme Politik Pasca Pilkada
https://www.fokusmetrosulbar.com/2017/02/membunuh-egoisme-politik-pasca-pilkada_14.html
Oleh : Mahyuddin * |
Setelah melalui minggu tenang, kini tibalah kita pada penghujung hari dimana ditentukannya puncak dari pesta ini. Puncak ini adalah saat-saat yang paling menegangkan karena mereka tinggal menunggu penetapan hasil akhir, siapakah gerangan yang akan terdepak dari gelanggang pertarungan. Dalam kondisi semacam ini, sangat mungkin akan terjadi ketegangan-ketegangan sosial.
Orientasi dan sikap politik setiap kandidat dan para pendukungnya adalah sebuah misteri. Menduga bahwa mereka akan legowo menerima kenyataan (menang atau kalah) setelah pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) berlalu adalah sebuah kekeliruan. Bersebab, realitas sosial praktik politik di negeri ini menunjukkan sebuah fakta, bahwa gesekan-gesekan sosial yang mengarah pada konflik sosial dalam prosesi maupun pasca pilkada sangat rentan untuk terjadi. Bangunan kokoh kebersamaan antar kelompok partisan, non-partisan, bahkan antar rumpun keluarga tidak sedikit mengalami keretakan hanya karena perbedaan pendangan politik maupun pilihan politik, terlebih lagi karena dukungan atau jagoan mereka kalah dalam kompetisi penyelenggaraan pilkada.
Potensi Konflik antar Aktor Politik dan Simpatisan pada Level Praktikal
Tidak hanya persoalan di atas saja yang sebetulnya sering kali menjadi permasalahan genting dalam berdemokrasi di negeri ini, satu hal yang selalu menjadi sorotan publik ialah perilaku politik para kandidat itu sendiri yang kadang kala tidak berbesar hati atas kekalahan dalam pertarungan politik. Pun yang menang dalam kompetisi tersebut, juga kadang kala menampilkan praktik politik yang sedikit melenceng dari prinsip-prinsip demokrasi. Jika yang kalah tidak mampu berbesar hati atas kekalahan, maka yang menggelitik bagi kita semua ialah masih ada saja perilaku kurang terpuji yang tampilkan kontestan pemenang pilkada yang sarat dengan politik balas dendam. Mereka yang selama ini berseberangan dengan aktor pemenang kompetisi ini, atau yang tidak menentukan pilihan politik atasnya, akan dianggap sebagai lawan sejati, musuh bebuyutan, bahkan disingkirkan dalam kerja-kerja birokrasi selama masa kepemimpinannya.
Praktik politik semacam ini pada hakikatnya sangat-sangat menciderai kualitas penerapan demokrasi yang selama ini kita coba rajut, rawat dan tumbuh-kembangkan. Jika kondisi seperti ini terus dipelihara oleh mereka yang hari ini berkontestasi menjadi kepala daerah, yang dalam hal ini seorang public figur dalam dunia politik, maka hal tersebut akan kembali menjadi catatan kelam sejarah praktik berdemokrasi bangsa ini. Ini akan menjadi proyek percontohan yang kurang etis terhadap para simpatisan maupun pendukung setiap kontestan, yang pada skala sosial tertentu dapat menyulut api perpecahan antar kelompok sehingga mengganggu stabilitas jalannya roda pemerintahan.
Bagi kelompok masyarakat yang sedikit apatis atas persoalan demikian mungkin menganggap bahwa antara ketegangan-ketegangan politik dengan perbaikan pemerintahan ataupun jalannya pembangunan, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Lagi-lagi dipertegas bahwa itu adalah sebuah kekeliruan. Meskipun diakui bahwa tidak ada satu proses politik yang sepenuhnya stabil dan tidak dibumbuhi dengan sebuah konflik namun kohesivitas sosial (kebersamaan dan kerekatan) sangat diperlukan dalam rangka membangun tata kelola pembangunan dan pemerintahan yang baik bangsa ini kedepan. Terjadinya kerusuhan, konflik antar pendukung figur tertentu dan/atau konflik antar aktor politik, konflik antar-etnis, dan konflik antar-agama, meminjam istilah Purwoko (2006), seringkali dipicu oleh hal-hal sepele, yang merupakan dampak buruk dari rendahnya kohesivitas sosial politik dalam suatu masyarakat. Artinya, keadaan semacam ini justru akan berdampak secara sosial yang jauh lebih besar jika tidak mampu dikelola secara bijak.
Ketika kita mencoba merenungi lebih dalam lagi bagaimana esensi dari berdemokrasi, maka dari sana kita akan diajarkan untuk siap kalah dan menang dan tentu saja siap mendapat pujian dan hujatan. Oleh karena itu, seorang kandidat dan para simpatisannya tidak cukup hanya dengan bermodalkan optimisme kemenangan. Mereka juga harus mempersiapkan diri dari kekalahan. Karena itulah demokrasi, harus ada yang kalah dan ada pula yang menang.
Dengan demikian, berbagai lapisan masyarakat yang hari ini ikut menyambut hangat gema pilkada dan menyemarakkan pesta demokrasi, pada dasarnya membutuhkan keteladanan yang baik dalam berpolitik. Jikalau kita mampu menampilkan perilaku politik yang santun nan terpuji, menjunjung tinggi kompetisi yang sehat, berbesar hati atas kekalahan, atau memiliki semangat saling merangkul dalam perbedaan pilihan politik maupun perbedaan pandangan politik. Maka, krisis disintegrasi sosial yang acap kali melanda negeri ini pasca bergulirnya momentum pilkada akan mampu kita minimalkan.
Membangun Sinergitas dan Semangat Kolektifitas
Setelah pemilukada berlalu, suka tidak suka, senang tidak senang, sebuah keniscayaan bahwa hanya satu pasangan calon yang akan memimpin jalannya roda pemerintahan. Mereka yang ditetapkan sebagai pemenang tentu saja memiliki kelebihan masing-masing di atas kekurangan-kekurangan. Kita tidak perlu menghabiskan begitu banyak energi hanya untuk mempersoalkan layak tidaknya seorang kandidat yang terpilih untuk menahkodai suatu jabatan pemerintahan. Pun tidak perlu berkecil hati hanya karena aktor atau kandidat pasangan calon dukungan kita kalah dalam pilkada. Tetapi, hal yang kita butuhkan ialah melanjutkan visi misi, mengawal janji-janji politik dan tentu saja cita-cita kesejahteraan dan keadilan sosial yang menjadi harapan-harapan besar oleh mereka yang hari ini terpilih secara votum (memiliki suara terbanyak dalam pemilihan).
Untuk mencapai cita-cita tersebut, kita menginginkan agar pasca pemilukada, kita mampu bergerak dan bersinergi bersama membangun simpul-simpul wilayah di Indonesia. Karena, simpul keindonesiaan pada dasarnya ada di daerah-daerah, baik kabupaten maupun propinsi mulai dari Sabang hingga Merauke, yang saat ini sebagian daerah-daerah tersebut tengah melangsungkan pesta demokrasi. Mari sadari bahwa hasil akhir dari pertarungan ini ditunggui oleh jutaan rakyat di luar sana dengan sebuah harapan bahwa, setelah pertarungan ini usai, para pemimpin kita mampu menjalankan amanah itu sebaik-baiknya, dan tentunya menyusun strategi kebijakan terbaik untuk kesejahteraan rakyat.
Ingatlah bahwa indonesia bersatu karena kesediaan kita untuk saling merangkul dalam bingkai Binneka Tunggal Ika. Kesatuan ini yang sepatutnya hendak terus kita rawat dan terapkan dalam berdemokrasi dengan peneguhan semangat kebersamaan dan tentunya semangat perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Kita tentu tidak menginginkan jika Indonesia yang selama ini dikenal oleh publik dunia internasional sebagai salah satu negara yang mulai beranjak menuju pada fase kematangan berdemokrasi, yang dalam catatan sejarah perpolitikan nasional, negara kita merupakan pelaksana pemilu yang paling kompleks dan paling besar di dunia (Mar`iyah, 2013), luntur seketika hanya karena arogansi, egoisme dan kepongahan kita.
Terakhir, harapan besar kita bersama semoga mereka yang terpilih menjadi pemimpin, yang secara otomatis akan sampai pada tampuk kekuasaan pemerintahan kepala daerah di belahan-belahan bumi Indonesia, ialah mereka yang memahami kekuasaan sebagai pengabdian, pengorbanan, dan perjuangan untuk mencapai cita-cita Indonesia seperti yang didengung-dengungkan oleh pendiri dan penerus bangsa ini yakni, peneguhan pembangunan masyarakat yang berkeadilan, makmur, beradab dan tentunya bermartabat. Membunuh egoisme politik, membangun sinergitas dan kolektifitas adalah jalan terbaik menuju kemajuan.
* Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM