KAU BAHAGIA DENGANNYA?

foto ilustrasi: pixbay.com
"Apakah kau bahagia dengannya?" Satu pertanyaan singkat, tapi mampu membuat dadaku seperti dihantam palu godam, nyeri. Aku terdiam cukup lama, segala yang sudah kulalui selama beberapa bulan terakhir terputar jelas di kepalaku bak rekaman sebuah alur film. Bahagia? Aku berpikir lagi. Beri aku satu alasan, Tuhan, kalau aku harus menjawab iya padanya.


Oleh:
Risna (Mahasiswi)

”Entahlah...”, jawabku sekenanya. Jawaban itu sebenarnya sudah memperjelas semuanya, bahwa aku sudah memilih berserah dan mewakili satu kalimat: aku tidak bahagia!. 

Keningnya berkerut. Mungkin, mencoba menganalisa satu jawaban simple itu. “Dari caramu menjawab dengan satu kata itu, aku sudah bisa tau jawabannya. Kau sungguh-sungguh tidak bahagia, Lea. Dan kalau memang seperti itu, kenapa kau tetap memilih untuk melanjutkannya?" suara bian mulai meninggi. “Kau butuh bahagia, Lea. Dan kalau dengannya kau tidak bisa bahagia untuk apa lagi bertahan? Kau sahabatku sejak lama dan aku pasti tau jika ada sesuatu yang tidak beres denganmu.”

Yah, kau benar, Bian. Aku memang sedang tidak beres. Sekarang seperti aku tidak punya alasan lagi kenapa harus membuatnya tetap ada dihidupku. Mungkin, aku hanya tidak ingin menanggung resiko jika aku harus menyerah sekarang, karena selama ini aku punya harapan yang cukup besar untuk yakin bahwa suatu hari Ia bisa berubah.

Tiba-tiba Bian menggeser duduknya lalu menghadap kearahku. “Alea, dengar. Aku tau kamu tipikal orang yang tidak gampang menyerah. Aku juga tau kamu orang yang tidak pernah setengah-setengah saat menjalin hubungan. Hanya saja, dalam sebuah hubungan berjuang itu harus dilakukan bersama, kalau hanya kau sendiri saja yang berjuang berarti dia tidak cinta. Dan sekarang coba pikir, butuh waktu berapa lama kamu untuk menyakiti dirimu sendiri, terus-terusan seperti ini? sementara diluar sana, kamu bahkan tidak tau bagaimana sebenarnya ia terhadapmu. Dan bahkan, bisa jadi saat kau menangis meringkuk disudut kamar karena ia tak kunjung mengabarimu selama seharian penuh, ditempat lain Ia tengah terbahak-bahak dan sibuk dengan dunianya sendiri tanpa sedikitpun berpikir tentangmu!!” Emosi Bian memuncak, seperti akan menelanku bulat-bulat. 

“Kau harus peduli pada perasaanmu sendiri, Lea.  Jangan hanya memikirkan dia yang justru sering-sering mengabaikanmu. Peduli juga pada sakitmu yang harus selalu kambuh karenanya. Peduli lah pada Mamah Papahmu yang bingung harus melakukan apa saat kau kesulitan mengambil nafas seusai menangis. Kalau kau tidak bisa menghargai dirimu sendiri, bagaimana mungkin orang lain bisa menghargaimu?” ucap Bian yang terus memberikanku nasihat.

Aku mendesah, lidahku keluh. Dari sorot matanya yang tajam aku bisa tau kepeduliannya yang sungguh nyata terhadapku. Entah harus diam saja mendengarkan ocehannya atau mencoba membela diri. Tepatnya Membela Dia.

Yah, Dia, Lelaki yang dimaksud Bian. Lelaki yang sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan denganku. Diawal-awal hubungan ia sungguh manis.  Ia bahkan hampir tidak punya waktu lain selain mengurusi diriku. Hanya saja, diwaktu bersamaan kita harus berjarak karena ia harus melanjutkan studi dikota lain, sedangkan aku harus tetap tinggal di sini untuk menyelesaikan kuliahku.

Jarak harus merebutnya dari sisiku, tapi seketika hatiku lumer karena ditenangkan. Ia meyakinkanku bahwa ini hanya sementara. Komitmenpun tetap kami bangun atas dasar, bahwa kami sudah tidak punya waktu untuk bermain-main. Aku melepasnya pergi dengan harapan bahwa Tuhan akan mempertemukan kami lagi pada situasi yang berbeda. Yah, tentunya saat pulangnya nanti ia sudah membawa rombongan keluarganya untuk menghalalkan hubungan kami. 

Hanya saja, berselang beberapa bulan setelah Ia tinggal berjarak denganku, kurasakan sudah mulai ada yang pudar dari sikap manisnya. Namun, aku tetap berusaha meyakinkan diriku bahwa setiap orang pasti punya alasan masing-masing untuk tiba-tiba merasakan kejenuhan. Mungkin saja memang hal itu bagian dari lelahnya, Ia belajar seharian dan tidak ada aku disana untuk menyemangatinya. Yah, seperti itu. Semoga begitu. 

Beberapa hari terakhir ini, Ia mulai jarang mengabariku. Mesti aku yang berinisatif untuk menelponnya duluan lalu ia akan menjelaskan kenapa seharian tidak pernah mengabariku. Sesulit apa sih mengetik pesan singkat, “maaf... sekarang aku sanagat sibuk skali, kalau ada waktu free aku akan menelponmu." Terlalu berat? terlalu memakan banyak waktu? Aku hanya ingin merasa dihargai keberadaannya. Bahwa sekali waktu kau harus tau bahwa ada orang yang setiap saat mencemaskanmu. Hanya saja ia seperti tidak pernah mau tau itu. Namun, disisi lain aku tetap berusaha menenangkan diriku. 

Everything is gonna be okay, santai saja. Tapi, sesuatu disudut sana sudah mengucur deras tanpa menunggu aku berikan aba-aba. Pertahananku jebol. Aku menangis dihadapan Bian.

“Berhentilah menangis. Aku tidak tega melihat perempuan menangis,” suara bian melemah. Berusaha menyeka air mata, aku memandang Bian. Ia menunduk. Dihadapi seperti ini malah ingin membuatku makin mengeraskan suara tangisku. Kenapa harus Bian yang mengerti, kenapa bukan kamu, bodoh!?. 

Tiba-tiba saja, aku merasakan nyeri hebat di dadaku. Kata-kata Bian tadi benar, sepertinya sakitku kambuh lagi. Huh, sudah kuduga. Kalau sudah emosi begini aku yakin aritmiaku pasti kambuh.  Dan tidak lama lagi, dispnea juga pasti menyusul menyerangku. 

Aku berusaha berdiri. Dalam keadaan setengah sadar, kurasakan lututku mulai lemas, pandanganku mengabur, dan keseimbangan yang mulai hilang kendali. Sekilas, sebuah cahaya menyilaukan tepat menyentuh mataku. Aku tumbang.

Rumah yang biasanya sepi, kini mendadak ramai. Di halaman rumah kendaraan terparkir acak-acakan. Ada banyak sekali orang yang sebagian besar sudah sangat kukenali. Ada tetangga, teman-teman kuliah, ada keluarga jauh juga. Aku belum menemukan orangtuaku. Aku mengerutkan kening, ada acara apa di rumah? Kenapa aku tidak diberitahu? Kuedarkan lagi pandanganku ke sekeliling rumah. Aku menemukan Bian tengah terduduk lesu. Matanya sepertinya sembab. Aku melambaikan tangan padanya, tapi ia hanya menatapku dengan tatapan kosong. Seperti tidak melihatku. 

Hei, itu Papah. Kulihat ia mendekati Bian lalu seperti sedang  bertanya sesuatu. Raut wajah mereka tampak serius. Aku berlari ke arah mereka. “Kenapa kalian ini? Kenapa aku diabaikan?” bibirku mengerucut. Nafasku masih ngos-ngosan karrna berlari, tapi tetap saja mereka mengabaikan aku. 

“Maafin Bian, Om...” Bian membuka suara. Ia lemas seperti untuk menatap Papah saja sudah tidak ada kekuatan. Kulihat Papah mulai menangis. 

Ada apa ini? Aku berlari masuk ke dalam, rumah sudah penuh sesak oleh orang-orang. Tiba-tiba langkahku terhenti, kulihat Mamah dan Dia tengah menangis meraung-meraung di hadapan seseorang yang sudah beluk kukenali. “Hah, Dia? Ada disini? Kenapa Dia tidak menghubungiku, kalau akan datang? Kenapa tiba-tiba sudah berada di rumah? Baiklah, sebentar akan kutanyakan kenapa Dia mulai kurang mempedulikanku. Tapi, aku janji aku tidak akan marah,” gumamku.

Aku sudah berhenti memikirkan itu. Aku lebih penasaran dengan seseorang di sana yang masih belum juga kukenali. Aku mulai mendekat ke arahnya. Tanganku gemetar saat mulai berusaha membuka kain penutup itu. Tiba-tiba Aku tersentak, “Aku!? Alea!!??...”

END

“Aku melepasnya pergi dengan harapan, bahwa Tuhan akan mempertemukan kami lagi pada situasi yang berbeda. Ia memang berbeda, tapi tidak sesuai harapanku. Ia mendatangiku disaat tak mampu lagi kurengkuh tubuh hangatnya. Maafkan aku, Mah, Pah, Bian, telah membuat kalian khawatir, aku akan baik-baik saja mulai dari sekarang. Dan Kau (Dia), tenanglah, Aku tidak akan lagi mengeluhkan sikapmu."

Dan saya baru sadar, bahwa ternyata dibunuh pelan-pelan bisa dilakukan dengan cara sangat sederhana. Lebih sederhana dari membubuhkan racun sianida dan mengiris nadi.

Kau tau apa!? Ada, tapi dianggap tidak ada. (*)

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item