Janda Tua Hidup Bersama Cucunya Berharap dari Dua Ekor Kambing dan Bantuan Tetangga
https://www.fokusmetrosulbar.com/2016/10/janda-tua-hidup-bersama-cucunya.html
POLMAN, FMS - Salamia, seorang janda tua yang bertahan hidup diperumahan nelayan bantuan pemerintah, tepatnya di Desa Tangnga-Tangnnga Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia hidup bersama seorang cucunya, Syaripuddin (13) yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 5 Tinambung.
Dalam menjalani kehidupan sehari hari, ia hanya mengandalkan penghasilan dari bekerja sebagai peternak kambing yang hanya berjumlah dua ekor. Dengan kondisinya yang kian termakan usia, rentetan penyakit pun dideritanya, mulai dari rematik, asam urat hingga anemia. Kehidupannya terasa begitu berat sepeninggal anak semata wayangnya, Saira.
Padahal, sebelum anaknya meninggal, kehidupannya sebagai seorang pedagang ikan panggang terbilang sederhana, dengan dibantu anaknya di rumah mengelola produksi ikan panggang sementara ia memasarkannya. Namun, sepeninggal anaknya, seakan separuh jiwanya hilang bersama dengan semangat hidupnya.
Almarhuma Saira meninggalkan dua orang anak laki-laki, anak pertama Muhammad Dalif yang kini sekolah di SMKN Campalagian, tinggal bersama keluarga bapaknya di Desa Segerang Kecamatan Mapilli, hal itu dilakukan agar cucunya mendapatkan pendidikan yang lebih layak dan yang ke dua, Syaripuddin yang sekarang tinggal bersamanya, sementara menantunya kini telah berkeluarga lagi.
Hidup dengan keadaan itu, terkadang membuatnya meneteskan air mata jika ia teringat masa-masa bersama keluarga kecilnya. Namun baginya, kehidupan sekarang ini bukanlah hanya untuk dirinya sendiri, melainkan demi cucunya.
Jika keadaan memaksa, tak jarang dia harus menjual makanan kambingnya per satu kali panen dengan harga Rp40 ribu, harga itu memang terbilang murah, namun hanya itu harta yang ia miliki selain kambing untuk menutupi kebutuhan sehari harinya. Jika itu tidak cukup, tak jarang ia harus berhutang beras pada pedagang langganannya demi menyambung hidup.
Meski tetangga dan sanak saudara seringkali memberinya sumbangan berupa gula pasir, ikan masak, sampai beras. Namun, kehidupan tetangganya dan keluarganya tidak jauh berbeda dengan dirinya, mengingat tetangga dan sanak saudaranya hanya bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional.
Bantuan pemerintah berupa kartu untuk kelurga miskin seperti, Kartu Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesi Pintar bahkan Kartu BPJS dari dulu tak pernah ia rasakan, seakan identitasnya sebagai masyarakat miskin tak pernah melekat pada dirinya. Ironisnya lagi, Syaripuddin sebagai anak yatim sejak pertama masuk di SMPN 5 Tinambung belum pernah menerima bantuan berupa beasiswa. Padahal Syaripuddin sempat menerima bantuan itu ketika ia masih duduk di kelas enam SD.
Kadang cucunya malas ke sekolah dengan alasan sakit perut, sebenarnya bukan karena ia bodoh atau memang malas, tetapi ke sekolah setiap hari tanpa sarapan dan uang jajan bukanlah perkara mudah bagi anak seumurannya.
Hal yang paling menakutkan baginya sekarang ini, ketika panggilan ilahi sudah tiba, apa yang akan dilakukan oleh cucunya.
"Akan seperti apa cucuku nanti, sama siapa dia tinggal dan siapa yang akan merawatnya," ucapnya dengan sedikit meneteskan air mata.
Sekarang ia hanya mampu berusaha semampunya untuk menghidupi dirinya dan cucunya walaupun susah adalah sebuah perasaan yang hampir ia rasakan setiap hari. Hidup dengan sepiring nasi dan ikan setiap hari sudah lebih dari cukup baginya.
Penulis: M TAUFIK
Dalam menjalani kehidupan sehari hari, ia hanya mengandalkan penghasilan dari bekerja sebagai peternak kambing yang hanya berjumlah dua ekor. Dengan kondisinya yang kian termakan usia, rentetan penyakit pun dideritanya, mulai dari rematik, asam urat hingga anemia. Kehidupannya terasa begitu berat sepeninggal anak semata wayangnya, Saira.
Padahal, sebelum anaknya meninggal, kehidupannya sebagai seorang pedagang ikan panggang terbilang sederhana, dengan dibantu anaknya di rumah mengelola produksi ikan panggang sementara ia memasarkannya. Namun, sepeninggal anaknya, seakan separuh jiwanya hilang bersama dengan semangat hidupnya.
Almarhuma Saira meninggalkan dua orang anak laki-laki, anak pertama Muhammad Dalif yang kini sekolah di SMKN Campalagian, tinggal bersama keluarga bapaknya di Desa Segerang Kecamatan Mapilli, hal itu dilakukan agar cucunya mendapatkan pendidikan yang lebih layak dan yang ke dua, Syaripuddin yang sekarang tinggal bersamanya, sementara menantunya kini telah berkeluarga lagi.
Hidup dengan keadaan itu, terkadang membuatnya meneteskan air mata jika ia teringat masa-masa bersama keluarga kecilnya. Namun baginya, kehidupan sekarang ini bukanlah hanya untuk dirinya sendiri, melainkan demi cucunya.
Jika keadaan memaksa, tak jarang dia harus menjual makanan kambingnya per satu kali panen dengan harga Rp40 ribu, harga itu memang terbilang murah, namun hanya itu harta yang ia miliki selain kambing untuk menutupi kebutuhan sehari harinya. Jika itu tidak cukup, tak jarang ia harus berhutang beras pada pedagang langganannya demi menyambung hidup.
Meski tetangga dan sanak saudara seringkali memberinya sumbangan berupa gula pasir, ikan masak, sampai beras. Namun, kehidupan tetangganya dan keluarganya tidak jauh berbeda dengan dirinya, mengingat tetangga dan sanak saudaranya hanya bekerja sebagai petani dan nelayan tradisional.
Bantuan pemerintah berupa kartu untuk kelurga miskin seperti, Kartu Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesi Pintar bahkan Kartu BPJS dari dulu tak pernah ia rasakan, seakan identitasnya sebagai masyarakat miskin tak pernah melekat pada dirinya. Ironisnya lagi, Syaripuddin sebagai anak yatim sejak pertama masuk di SMPN 5 Tinambung belum pernah menerima bantuan berupa beasiswa. Padahal Syaripuddin sempat menerima bantuan itu ketika ia masih duduk di kelas enam SD.
Kadang cucunya malas ke sekolah dengan alasan sakit perut, sebenarnya bukan karena ia bodoh atau memang malas, tetapi ke sekolah setiap hari tanpa sarapan dan uang jajan bukanlah perkara mudah bagi anak seumurannya.
Hal yang paling menakutkan baginya sekarang ini, ketika panggilan ilahi sudah tiba, apa yang akan dilakukan oleh cucunya.
"Akan seperti apa cucuku nanti, sama siapa dia tinggal dan siapa yang akan merawatnya," ucapnya dengan sedikit meneteskan air mata.
Sekarang ia hanya mampu berusaha semampunya untuk menghidupi dirinya dan cucunya walaupun susah adalah sebuah perasaan yang hampir ia rasakan setiap hari. Hidup dengan sepiring nasi dan ikan setiap hari sudah lebih dari cukup baginya.
Penulis: M TAUFIK