MIMPI - MIMPI TOTUNA
https://www.fokusmetrosulbar.com/2016/09/mimpi-mimpi-totuna.html
foto ilustrasi: pixabay.com/id |
Ditepian malam semakin dingin, embun turun mencumbu bumi. Setiap kecupan mesranya berbekas membasahi dedaunan lalu menjadi air kehidupan. Alam raya pun terdiam, hening dalam kesaksiannya, hanya ada suara serangga bersenandung lirih bersahutan. Seakan kehadirannya tercipta untuk meninabobokan manusia dari lelahnya aktivitas disiang hari sampai ia tertidur lelap.
oleh: Ahmad Mandara
Dalam mata yang terlelap, jiwa mengepakkan sayapnya terbang menembus dimensi ruang dan waktu meninggalkan sangkar materi yang mengurung, menjelajah ke alam yang lain. Suatu tempat yang semu, apa yang digenggam di sana menjadi tiada saat mata kembali terbuka.
Namun, kadang di tempat itu juga seseorang mendapatkan hikmah dan petunjuk untuk dibawa pulang ke-kehidupan nyata. Manusia menyebutnya tempat itu adalah alam mimpi. Alam yang berada diantara nyata dan semu, antara makna dan kosong.
Seperti malam-malam kemarin, seperti mimpi-mimpi semalam, perempuan itu hadir lagi diruang rasa mimpiku untuk kedua kalinya. Matanya yang bening sebening air di telaga dan rambutnya yang panjang terurai melambai-lambai dikibas angin lautan. Dan masih di tempat yang sama, ia berdiri sendiri di tepi pantai memakai jaket tebal berbulu kecokelatan sambil melepaskan pandangannya ke samudera biru nan luas terbentang.
Kehadirannya dalam mimpiku mengalahkan indahnya desiran angin pantai dan gemuruh ombak menghantam batu karang serta ritmis kicauan burung camar terbang riang kian-kemari menjadi tak berarti lagi bagiku.
Aku terus memandanginya lalu mendatanginya, semakin dekat kurasakan hasrat birahi semakin menggebu-gebu. Tapi sesaat berada di sampingnya, pusaran karisma kesejukannya menjadikan hasrat itu lenyap seketika berganti kedamaian dan kenyamanan, membuat mataku terpejam sejenak mengikuti nafasku menghela secara perlahan sampai dikedalamannya.
Tak ada kata yang sempat terucap, sebab kata lebih dulu terseret arus gelombang lautan rasa sejuk dan indah. Kembali mata kubuka, kulihat wajahnya putih berseri serta di lengan dan kakinya mengenakan gelang dari permata yang sinarnya memantul-mantulkan kilauan cahaya, sementara pori-pori tubuhnya menyembul aroma semerbak wewangian. Kuciumi terus kuciumi, lalu kuhirup dalam-dalam. Kuresapi sampai mataku terpejam kembali diikuti imajiku dituntun mengembara ke tempat paling indah. seakan aku ini tiada, aku melebur menjadi rasa nyaman itu sendiri.
Saat kubuka mata, ia pun menghilang, tiba-tiba tak ada lagi di depanku. Tak tahu kemana perginya. Aku mencarinya.. mencarinya.. dan terus mencarinya, namun tak kutemukan lagi selain gelangnya yang jatuh terlepas dari lengannya bersama sisa aroma wanginya yang masih tercium.
Tepat pukul 3.48 dini hari, aku terbangun dari mimpi itu dengan menyisakan tanya di benak. "Siapakah perempuan itu? Dimanakah tinggalnya dan Siapakah namanya?."
Tidak ada kata yang bisa kuucapkan dalam mimpiku itu selain rasa kesejukan dan ketenteraman jiwa.
"Mungkinkah dia seorang Bidadari?" Pikirku mencari tahu. "Tidak! Tidak mungkin dia seorang Bidadari! Tidak mungkin Bidadari sudi datang dalam mimpiku!"
"Ooh.. iya, aku ingat, gelang itu aku simpan di dalam laci." Tersentak diriku secepatnya menuju laci itu, tapi gelang itu tidak ada juga.
Benar kata orang-orang, sebagian besar mimpi-mimpi hanyalah ilusi. Tapi tidak semua mimpi adalah ilusi semata.
Ada hikmah yang dapat kuambil dari mimpi itu, bahwa tidak sepatutnya aku datang mendekatinya dengan dorongan nafsu birahi, begitu pun juga dia. Ada yang jauh lebih hebat dan lebih bahagia dari sekedar pemuasan nafsu yang diberikan, yaitu kedamaian hati dan ketenteraman jiwa yang mengalirkan kesejukan saat di sampingnya. Sehingga setiap kata telah menjadi rasa dan asa bersama, dan saling membuka hati untuk memberikan ruang pengabdian dan pengorbanan.
Malam itu, aku tak bisa lagi tidur, kantukku hilang. Aku lebih baik beranjak dari tempat tidur membuat segelas kopi sambil menunggu waktunya salat subuh yang memang sudah tak lama lagi.
Suara azan pun terdengar di musala terdekat dari kosku, sedang kopiku belum habis kuminum, masih menyisakan setengah gelas. Dengan segera kuteguk lalu bergegas ke musala.
Namaku Totuna, aku adalah penghuni baru di kos 'Putra' milik pak Ahmad, belum genap sepekan kutinggali. Setelah kepindahanku dari kos Pak Budi, berhubung karena jauhnya dari kampus dan berisiknya penghuni sangat mengganggu. Walau hanya kos sederhana yang terpetak-petak, tapi cukup tenang untuk aku diami.
Ada yang aneh dengan namaku, karena Totuna itu berasal dari Bahasa Mandar (salah satu suku di daerah Sulawesi barat). To/tau yang berarti orang dan Tuna yang berarti fakir, jadi namaku adalah 'orang fakir'. Aku tidak tahu kenapa kakekku memberikan nama seperti itu. Alasan yang logis, mungkin karena keluargaku bukanlah dari status sosial yang terpandang dari segi harta, tahta, dan jabatan.
Sesampainya di musala kulihat hanya ada tujuh orang laki-laki termasuk diriku dan juga imamnya dan dua orang wanita di saf belakang. Jadi, di dalam musala itu kami hanya berjumlah sembilan orang, kami pun melaksanakan salat subuh berjamaah. Usai salat, seperti biasanya aku selalu berdoa kepada Tuhan sambil menengadahkan kedua tanganku sementara mataku terpejam.
"Aamiin," gumamku diikuti kedua tanganku mengusap ke wajah.
Doa selesai. Aku melirik ke kanan dan kiri nyatanya jamaah sudah pada pulang, tinggal diriku dengan pak imam. Aku pun juga hendak pulang, aku menyalaminya lalu berjalan ke luar ruangan musala.
Di luar pintu, kulihat kedua jamaah wanita tadi sedang menunggu pak imam untuk pulang bersamanya. Rupanya, kedua jamaah wanita itu adalah seorang ibu bersama anak gadisnya, sedang pak imam di musala ini adalah kepala keluarga mereka.
Sekilas, aku saling bertatapan dengan gadis itu, selagi ia masih mengenakan mukena. Aku sempat terpukau akan keanggunan dan keteduhan tatapannya bagai menjanjikan ketenangan serta kebahagiaan bila hidup bersamanya.
Kemudian aku berlalu di samping mereka berdua sambil lirih kuucapkan salam kepadanya. Ibunya pun dengan santun menyahut memberi salam kembali, sementara anak gadisnya hanya merekahkan senyum manisnya sambil menunduk tersipu malu.
Tak lama dari situ, sempat terlintas ragu dan tanya dibenakku, "jangan-jangan saat ini diriku sedang tertidur nyenyak di kos? Apakah ini nyata? Atau lagi-lagi ini hanyalah mimpi?". Tapi tegas kukatakan, "tidak!" sambil sedikit merintih kesakitan, usai telingaku kujewer dengan keras untuk meyakinkan diriku bahwa kali ini adalah nyata.
Diperjalanan, entah mengapa terus terbayang senyumnya, menemani langkahku hingga tiba di kos. Rasaku berbisik mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama ataukah ini hanya sekedar rasa kagum?
Kekagumanku bukanlah tanpa sebab, karena jarang sekali aku melihat ada seorang perempuan yang berkeinginan melaksanakan salat di masjid apalagi ini hanyalah musala kecil. Dia benar-benar membuatku merenung dan bertanya-tanya, "di masjid atau di musala mana lagi aku bisa melihat pemandangan seindah itu? Seorang gadis bersama ibu tercintanya mendirikan salat berdua? Ini adalah pemandangan menyejukkan hati yang hampir punah," dalam benakku terus-menerus bertanya.
Setibanya di kos, kurasakan kantuk berat akibat terbangun dari mimpi disaat malam masih sangat dini. Kulihat jam handphoneku lalu kuaktifkan alarmnya, kupikir masih ada waktu untuk menyempatkan tidur sejenak. Berhubung Sabtu ini ada jadwal kuliah pagi, Pak Mahmuddin dosen sastra akan masuk sebentar, lanjut jam kedua mata kuliah sosiologi oleh Pak Iskandar.
Totuna kuliah demi harapan dan cita-cita, meskipun dirinya orang tak mampu dan sudah pasti banyak pembayaran menunggak di kampus. Nasib hidupnya tak membuatnya patah semangat. Totuna berhak bermimpi!!
Tapi apa yang terjadi, aku bangun lewat 17 menit dari seharusnya, diriku tertidur pulas, telentang laksana orang mati. Alarm handphoneku tak kudengar hingga lowbat, padahal telah kuatur agar berdering riuh di telinga.
Kuraih tas di sampingku, lalu kubuka. Ku ambil charger di dalamnya, kemudian kucolokkan ke stop kontak yang terpasang di dinding, belum banyak terisi energi, hape sudah kuaktifkan. Bersamaan dengan itu, kulihat dua panggilan tak terjawab dari Lutta, ia adalah teman sekelasku di kampus sekaligus satu atap bersama di kos Putra, tapi beda kamar denganku.
Aku menuju kamar mandi, dan belum sempat kugantungkan handuk di kamar mandi, tiba-tiba hapeku berdering pertanda nada panggilan, tapi tidak sempat aku mengangkatnya karena keburu dimatikan lalu disusul nada pesan masuk. Dengan segera aku keluar selagi mengenakan handuk yang melilit di badan dalam keadaan belum sempat menyentuh air apalagi mandi.
Kulihat satu pesan yang masuk, "Kamu sudah siuman, Totuna? Tadi pagi aku mengetuk-ngetuk pintu kamarmu dan juga sempat calling kekontakmu tapi tak ada jawaban. Kamu dimana? Cepat ke kampus! Pak Mahmud belum masuk, beliau akan terlambat sekitar 23 menit, berhubung ada rapat mendadak!!" isi pesan dari Lutta
Dengan sangat lincahnya, aku mandi melalui jalur pintas, kucuci muka lalu kubasahi sedikit rambut. Let's go!
Perjalanan ke kampus, tak kuduga aku bertemu kembali dengan gadis yang di musala subuh tadi. Seketika itu juga jantungku berdebar kencang dan kembali aku terpana dibuatnya. Tapi kali ini, ia tak bersama ibunya, melainkan seorang bayi imut tengah digendongnya, sementara di sampingnya ada seorang lelaki yang kelihatannya orang kaya dan terpandang, begitu mesra padanya. Aku pikir itu suaminya!
Cemburu? Iya, aku terbakar cemburu! Dan aku berharap semoga yang kulihat adalah mimpi! Kujewer telingaku, ternyata sakit kurasakan. Kutampar lagi pipiku, tapi semakin perih kurasakan. "Ah.. aku tidak sedang bermimpi!" Ucapku.
Tapi, Totuna mencoba menerima kenyataan dengan senyuman, bahwa memang hidup terkadang seperti melihat di dalam mimpi. Dan mimpi Totuna akan terus berlanjut untuk menggapai segala impian. Karena Totuna tahu, untuk menjadi orang sukses haruslah siap berjalan di atas duri dan terpaan badai. Bermimpi di dunia nyata, tentang kehidupan yang penuh dinamika, romantika, dan dialektika. (*)