LELAKI HUJAN

Ilustrasi Foto: INT
Mulutku terbuka, alisku agak tersambung. “Ah, tak masuk akal, tak mungkin!” pikirku. 

Usai magrib perempuan bertubuh kurus, usianya diperkirakan 60 tahun sedang mencari seorang pria di pinggir sungai. Katanya tempat yang paling sering dikunjungi lelaki beruban dengan usia yang sama itu di sungai.


Oleh: Indra Anwar
Mungkin alasan pria yang berkaki tiga itu, sungai merupakan tempat paling tentram, ikan-ikan berenang ke sana kemari, dan arus air dari hulu ke hilir. Namun, bukan hanya batang hidungnya yang kelihatan bahkan bau badan lelaki itu pun tak tercium. 

Perempuan itu kembali berjalan mengunjungi tempat yang juga disenangi lelaki berkaki tiga itu. Meski usianya yang tak lagi muda. Masih pencariannya perempuan itu masih nihil. Lelaki tua itu tidak berada di antara tomat, jagung, dan sayuran.

”Bagaimana jika lelaki itu mati disambar halilintar?  Bagaimana jika ular telah mematuk tubuhnya hingga tubuhnya menjadi biru dan racun menjalar cepat sesuai alur darah?”
   
Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pikirannya sesegera ditepisnya. Ditatapnya sebuah bangunan yang terbuat dari anyaman bambu dekat pematang sawah sekitar 100 meter dari tempatnya.

“Mungkin ada di sana” pikirnya.

Perlahan-lahan dan sangat hati-hati Perempuan itu menaiki anak tangga yang terbuat dari bambu dan licin. Sudah dua tahun pondok itu menemani lelaki beruban itu hingga pondok tersebut tak tegak lagi. Dibukanya pintu itu pelan-pelan hingga terdengar suara rintihan. Dibukanya sarung di atas kepalanya yang berbentuk konde. Nampak rambut hitam bercampur putih. Lalu dinyalakannya obor dekat pintu, hanya ada laba-laba bersarang, tikus saling berkejaran, juga nyamuk yang siap memangsa. Ia menarik nafas perlahan-lahan, Harapannya pupus, perempuan itu keluar perlahan-lahan. pandanganya lowong. 

Dengan kaki yang berat dia melangkah. Hujan tiada henti sejak pagi. Senyumnya mulai memudar, raut wajahnya berkerut sepanjang jalan. 

“Dg. Bunga, Apa sudah ditemukan?” Sorak tetangga Dg. Bunga

Kepalanya hanya tunduk, dan memalingkan dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.  Suaranya yang parau dan pelan menjawab. “Belum!!!!” 

Ketika itu, lampu-lampu jalan yang menghias tiba-tiba padam. Suara anjing melolong-lolong. Sarung yang diikat dipinggang yang menjuntai ke bawah mengayung ke belakang seiring irama angin. Tetap berjalan. Menuju rumah yang berdinding papan. Dilangkahkan kakinya dengan beban 120 kg. Anak tangga satu per satu dilaluinya. Di langit huruf N jatuh. Di sertai suara yang gemuruh. 

Hujan perlahan-lahan berhenti, para warga mendatangi rumah Dg. Bunga. Di teras rumah para warga bertanya-tanya ke mana Dg. Bundu menghilang. Bak To Manurung yang tiba-tiba datang dari langit. Dan Dg. Bundu tiba-tiba saja menghilang. 

Lampu bundar berwarna kuning padam di depan rumah Dg. Bunga. Seorang laki-laki dan perempuan yang menggendong bayi turun dari mobil. “Itu anaknya Dg. Bunga, namanya Safaruddin” bisik salah satu warga. Lalu hening ketika Safaruddin dan istrinya naik ke rumah panggung milik orang tuanya. Mata para warga mengarah ke laki-laki Safaruddin dan istrinya. Sementara Safaruddin yang masuk ke dalam rumah tak bisa menyembunyikan kedukaan. Lewat matanya semua paham.

“Mak..” 

Safaruddin mencium tangan dan memeluk tubuh yang hanya dibaluti kulit untuk menyembunyikan tulang-tulang Dg. Bunga hingga isak tangis pecah kala itu. 

****

Pria bersongkok putih di sampingku menghela nafasnya. Meski baunya tak sedap. Aku tak memperdulikannya. Kutatap wajahnya, matanya berkaca-kaca, lalu butiran kristal mengalir dipipinya menyatu dengan rintik hujan yang jatuh. Suara petir terdengar. Kamu menarik tanganku. Bergeser dari bawah pohon.

Persis ketika jemarimu menyatu dengan jemariku. Kurasakan ada yang mengalir disekujur tubuhku. Bibirku tergembok. Hanya detakan jantung dan air hujan yang kurasakan. pikiranku melayang. Mungkinkah kakek tua itu datang?. Hingga kamu menarik jemariku.
Kerudung coklatku kuyup. Aku bersandar di tembok bercat putih. Suara dahsyat dari langit terdengar. Sepatuku bergeser sejengkal nyaris berbenturan dengan sepatumu. Gemetar tubuhku. 

“Tak baik berada di bawah pohon. Jika hujan lebat seperti ini” 
“Kata siapa?”
“Nenekku” 

Kembali pikiranku kepada Dg. Bundu. Namun, Aku tak berani bertanya. Sebab air mata yang telah kering tak ingin kulihat lagi. Hingga kubenamkan seribu tanda tanya dalam batin dan otakku. Songkok putihnya di masukkan dalam tas, dan mengambil jaket biru bertuliskan Chealsea. 

Baru kali ini Aku ditemani lelaki yang selalu menampakkan lesung pipinya. Kulitnya yang sawo matang, lengan yang kekar, dan betis yang berisi hingga pantas perempuan-perempuan di sekolah kerap memujanya sebagai seorang atletis yang pandai memainkan kulit bundar di lapangan hijau. 

Kali ini Aku mengaminkan kalimat-kalimat perempuan pemujanya itu. Sebab mataku sendiri yang menatap beberapa poster dari sampul buku milik Ramli semuanya bergambar pemain sepak bola. Mungkin juga Syamsul Bachri atau Bambang Pemungkas ada di antara pemain-pemain bola yang lain pada sampul bukunya.

Diayungkan jaket berwarna biru pas di bahuku. Kembali ada aliran yang mengalir dalam tubuhku hingga aku gemetar. Wajahku tertunduk merah secara perlahan-lahan. Senyum kecil kusembunyikan. Mirip kisah-kisah di FTV yang selalu kutonton ketika pulang sekolah. Atau kisah Zainuddin dan Nurhayati  yang diceritakan guru sastraku. Setelah Ramli memasang jaketnya ke bahuku wajahnya dipalingkan ke jalanan. 

“Aku duluan”
“Hujan masih ….”

Belum tuntas kujawab Ramli sudah berlari. kilat semakin terus menerus disertai suara gemuruh. Engkau lenyap di balik hujan. Alisku melengkung bersambung. Tanganku simetris ke depan. Tubuhku gemetar, bibirku tak bersuara manatapmu. (*)

Akhir Januari 2016

Post a Comment

emo-but-icon

FOKUS METRO SULBAR

BERITA Populer Minggu Ini

item